21. Sekar Ingin Menjadi Ibu Rumah Tangga

130 7 0
                                    

Arum kembali ke kampung halaman untuk liburan akhir tahun bersama kedua anaknya. Biasanya Arum ke sana hanya saat hari raya saja, saat semua orang merayakan hari kemenangan. Saat semua orang saling bermaaf-maafkan, dan Arum pikir itu adalah waktu yang tepat untuk pulang.

Berawal dari kenalan ibunya dulu, akhirnya Arum tahu di mana kampung halamannya. Arum ingin menangis kalau mengingat soal ibu, wanita yang melahirkannya dengan darah dan daging. Wanita yang sejatinya adalah ibu kandung, dengan segala kemuliaan yang diberikan oleh Tuhan Maha Penyayang.

Arum adalah wanita yang beruntung, dan dia bahagia.

Arum tidak pernah mengenal ibu kandungnya, tapi dia benar-benar rindu. Bahkan Arum juga rindu memanggilnya dengan panggilan yang dikhususkan untuk mereka para orangtua terkasih. Arum penasaran ibunya lebih suka dipanggil apa. Ibu, Ibuk, Bunda, Umi, atau Bubu? Ah, Arum penasaran. Atau apakah juga sama seperti Arum, lebih suka dipanggil dengan Mama?

Arum sungguh rindu teramat dalam. Biarpun ...

“Mama jangan ngelamun, bahaya,” ucap Arini.

Arum tersenyum saja membalas ucapan Arini. Dia tampak penasaran dan bertanya, “Mama lagi ngelamunin apa, sih? Soal pacar Mama, ya?”

“Huu, kamu ini. Memangnya kenapa kalau Mama ngelamunin Om Ardian?”

“Ish, males Arini manggil dia dengan sebutan Om,” kata Arini sebal. “Arini aja manggil Abang ke yang jualan siomay di sekolah, padahal umurnya sama.”

“Kakak manggilnya Om, kok. Yang jualan siomay paling pinggir itu, kan?” Arina ikut nimbrung. “Halah, kamu masalah panggilan aja jadi masalah besar. Asal kita sama-sama niat untuk menghormati, udah, cukup. Dasar, kamu kayak dia aja.”

“Yee, nyambung aja Kakak!” Arini tambah sebal. Lalu merajuk dan diam.

Arum menghela napas lalu bertanya pada Arina karena penasaran. “Memangnya sama kayak dia siapa, Arina?”

“Ada, deh, Ma,” kata Arina, menatap hamparan hijau di luar sana.

Arum tersenyum melihat bayangan Arina lewat kaca di dalam mobil. Kalau Arini anaknya tomboy dan selalu terus terang, sementara Arina adalah kebalikannya. Meski berbeda, Arum jelas sangat menyayangi kedua anaknya itu. Karena mereka adalah anugerah terindah yang Arum miliki.

“Oh ya, Mama sempat minum teh sama keluarga Megantara,” kata Arum. “Katanya dia nggak punya anak seumuran kalian. Tapi Mama tahu Pak Abraham berbohong.”

Mereka kompak kaget dan langsung melihat ke arah Arum.

Arum geli melihat reaksi mereka. Tapi dia tak melanjutkan omongan dan pura-pura fokus ke depan. Sementara saat ini mobil sedang melaju pelan, sudah memasuki jalan masuk ke desa Pelita Ayu, kampung mereka. Lalu Arum memberhentikan mobil, membuka kaca dan memekarkan senyuman pada dua wanita sepuh yang masih kuat bekerja mengangkat rumput segunung.

“Wah, Bu Direktur! Saya ingat! Ha, ha, ha! Hei, dia Bu Direktur, berhenti sebentar!”

“Ya, biarpun aku sudah hampir delapan puluh tahun, tapi mataku masih sehat walafiat. Siang, Cu, yang namanya hanya Aruma, tapi adalah wanita paling beruntung sedunia. Satu-satunya Bu Direktur di kampung yang gembel ini.”

Wanita sepuh berkebaya lusuh itu berkata lesu dan judes pada teman seperjuangannya. Tapi ketika mengalihkan pandangannya ke arah Arum, dia memekarkan senyum. Pujian darinya sungguh membuat Arum merasa bangga dengan dirinya sendiri. Walaupun Arum tidak pernah suka dipanggil dengan nama lengkapnya yang hanya satu kata, itu adalah pujian yang selalu dia inginkan.

Hanya karena disakiti Mas Dirga dan teman-teman yang telah Arum percaya, dia bisa-bisanya melupakan mereka ini. Bahwa Arum tak benar-benar sendiri. Arum masih punya banyak orang yang menghargainya.

Contohnya Sekar Atmaja, sampai perempuan itu rela mempertaruhkan nyawanya. Satu hal yang tidak pernah ada di benak dan Arum inginkan. Arum tak meminta itu, tapi Sekar ...

“Saya sudah anggap Bu Arum seperti kakak saya sendiri. Bahkan orang tersayang yang saya anggap sama seperti seorang ibu.”

Arum berkaca-kaca di belakang Arina dan Arini yang bercanda dengan kedua sepuh itu. Arum senang sekaligus sedih. Dia senang saat bersama Ardian, bermain golf sampai dengan jalan-jalan ke tempat yang menyenangkan. Tapi setengah hatinya sedih dan merasa bersalah atas kepergian Sekar.

Sekar, kamu benar-benar bo-doh.

Akhir tahun ini Arum sebenarnya bukan  untuk berlibur melainkan berdoa ke kampung halaman Sekar, kampungnya Mas Dirga juga.

Liburan ini untuk kedua anaknya, sementara Arum tidak.

***

“Nama kamu Arum? Jadi kamu yang sering diceritakan oleh Sekar?” Wanita paruh baya di atas kursi roda itu bertanya dengan raut wajah masih dalam keadaan berduka sampai saat ini. Sudah hampir tiga bulan.

Arum mengangguk sementara hati kini berkecamuk hebat. Begitu kerasnya dunia bisnis saat urusan pribadi diusik, sampai harus ada yang kehilangan nyawa.

Hanya saja, Sekar melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan. Arum berterima kasih, tapi Sekar terlalu jauh untuk membuktikan bahwa dia menyesal berbohong soal perselingkuhan Mas Dirga. Karena saat ditelepon Pak Hermawan, Arum memang sudah menebak dan telah mempersiapkan diri. Bahkan sesuai tabiat, Arum berniat balas dendam dengan hatinya yang kelam.

Saat itu Arum merasa sudah di ambang batas. Sungguh. Tapi anak itu ...

“Bu Arum ... aku ... Ibu nggak perlu balas dendam. Ikhlaskan aja, Bu  ... Dunia ini memang kejam, tapi Ibu  ... nggak perlu memaksakan sampai ada lagi yang ...”

“Kamu datang sendiri, Nak?” tanya lelaki yang berdiri samping wanita itu. Dia berdiri dengan badan ringkih, tapi terlihat memaksakan diri.

“Aduh, Pak, Buk—eh, kamu siapa, ya?”

“Ini yang namanya Bu Arum, Bude. Sering diceritain sama Mbak Sekar.” Seorang anak yang masih remaja menjelaskan pada wanita yang muncul dan terlihat sebaya dengan Arum.

“Tunggu, aku nggak bisa lihat dengan jelas—woaah! Eh, kalian nggak tahu dia siapa?”

Mereka saling berpandangan. “Dia ini, lho, mantunya Rina yang sombong itu!”

Arum tersentak tapi memilih diam saja.

“Mantunya Buk Rina? Yang bener kamu, Juwi?”

“Beneran, Pak! Si Dirga memang jarang banget bahkan malah nggak pernah ajak dia ke sini. Tapi aku pernah lihat mereka berdua di kota selayaknya pasutri. Ibuk Bapak kok nggak kenal, sih? Kan kalian menetap di kota, lho.”

“Kata Sekar, Bu Arum ... Maaf, Nak, bukan ...”

“Oh, nggak apa-apa, Buk. Silakan.” Arum memberikan senyum pengertian.

Dia terlihat ragu tapi akhirnya menceritakan Sekar pernah bilang kalau Arum adalah wanita yang super cuek. Hal tersebut yang menjadi alasan Sekar enggan menceritakan sosok Arum lebih rinci. Anak itu rupanya lebih menceritakan soal perasaan-perasaan kagum. Seakan Arum ini pahlawan super bertopeng.

“Kamu wanita hebat, begitu katanya. Sumpah demi Allah, Sekar nggak pernah kasih lihat foto kamu. Pokoknya, kata Sekar, Bu Arum itu adalah penyelamat kita. Stroke saya sama istri bisa sembuh ... Walaupun sekarang Bapak Ibuk mulai begini lagi, karena—“

Mereka menangis.

“Sampai kapanpun kami tidak akan pernah memaafkan orang yang membuat adikku tiada!” seru wanita yang Arum pikir adalah kakak Sekar. Matanya menyala-nyala, dan tersirat balas dendam yang begitu jelas.

Sama seperti Arum saat itu, bedanya tidak sesemangat dia.

“Apa jangan-jangan Ibu ini datang buat ngasih kabar kalau pelakunya sudah ditangkap?”

Arum menggeleng. “Saya datang kemari sepenuhnya ingin ikut berdoa untuk almarhumah Sekar.”

Dia melihat kecewa, tapi tidak mengabaikan rasa simpati dari Arum. Dia mempersilakan Arum masuk, dan dikenalkan dengan orang-orang yang sedang berdoa untuk mantan sekretaris tersayang.

Sekar Atmaja. Perempuan ceria yang selalu bercerita ingin menjadi seorang ibu rumah tangga.

***

 

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang