“Ibuk sudah tahu, ya?”
Entah siapa yang bisa Arum percaya lagi di dunia ini. Sementara orang yang paling dihormati saja tega berbohong padanya. Walaupun orang itu sedang memohon maaf sekarang, rasa-rasa sulit untuk memaafkan.
“Ibuk juga nggak pernah memiliki riwayat mental seperti yang Mas Dirga bicarakan. Semua itu hanya sandiwara, di mana dalangnya Mas Dirga sendiri. Apa alasannya ... dan kenapa Ibuk bisa ... setega itu ... KENAPA?”
“Arum ...”
Saat itulah kali pertama Arum berbicara dengan nada tinggi pada Ibuk. Sosok yang dianggap seperti ibu kandungnya sendiri. Sosok yang Arum harap bisa menyayangi seperti anaknya sendiri hingga menyembuhkan luka saat kecil dulu.
Arum mendengar langkah kaki mendekat, yang dia yakin itu adalah Mas Dirga. Seraya menatap Ibuk dengan dingin, Arum pergi dari ruangan itu, tempat Ibuk mengajaknya bicara empat mata. Setelah mereka mendengar percakapan satu arah Mas Dirga, meski tak sampai selesai.
“Ibuk? Ada apa?” tanya Mas Dirga, menghampiri ibunya. “Aku denger suara Arum barusan. Ibuk ngobrol sama dia? Bukannya ...”
Seraya Mas Dirga berbicara pada Ibuk, sesekali tatapan Ibuk mengarah pada Arum. Meski gelap, Ibuk masih bisa melihat sinarnya. Arum yakin Ibuk dapat melihat kebencian yang dia pancarkan.
“Kamu salah denger, Ga,” kata Ibuk pada Mas Dirga. “Ini barusan habis matikan lampu ruangan ini, lupa, eh malah ketemu tikus. Ibuk terus teriak, begitu, Nak.”
“Tikus?”
Arum kembali ke kamar dengan marah luar biasa di hatinya. Ternyata apa yang dia takutkan benar adanya. Tinggal menunggu ketakutan terbesarny yang menjadi kenyataan. Untuk mereka, Arum bisa mengikhlaskan meski marah itu diyakini takkan padam, yah, dikarenakan tabiatnya memang begitu dari dulu. Tapi untuk mereka yang Arum sayangi dari hati paling dalam, dia sungguh tak bisa.
“Aruma, kamu itu monster! Nggak ada yang mau berkawan apalagi dekat-dekat sama kamu! Jangan bermimpi!”
“Arum, kamu udah tidur?”
Arum menutup mata sambil berbaring menyamping, tanpa peduli dengan omongan Mas Dirga. Anggap saja Arum benar-benar sudah tidur.
“S-Sayang?”
Masih tidak bersuara sementara benak kemarahan Arum yang mengudara. Dia merasa permainan di antara mereka sudah memasuki babak baru. Mereka sudah saling mengetahui rahasia masing-masing. Entah kenapa, meski Arum mendengar Ibuk berbohong tadi, dia merasa Mas Dirga telah mengetahui sandiwaranya.
Arum tak menyangka bakal secepat ini. Arum tidak menginginkannya, meski kenyataan bersyukur mengetahui kebenaran menyakitkan itu. Arum tidak perlu bersandiwara lagi, sementara hanya perlu fokus dengan apa yang ingin dipertahankan.
Daripada itu, sebenarnya Arum masih termasuk wanita yang beruntung meski harus menunggu empat belas tahun lamanya, untuk mengetahui kebusukan Mas Dirga dan yang lain.
Ya, Arum merasa masih menjadi wanita yang beruntung. Seperti yang dia yakini, walaupun, dunia membenci.
Haa, Aruma, Aruma. Sudah dibilangkan, semua yang kamu lakukan hanya membuang waktu. Monster seperti kamu sudah sepantas melakukan itu selamanya.
***
“Ssst, ada orangnya,” kata Bu RT, saat baru menyadari kehadiran Arum yang turun dari mobil dengan setelan pakaian kantor. Kebetulan ada yang mau Arum beli sebelum berangkat ke tempat tujuan.
“Arum, kamu nggak anter anak-anak?”
“Sekali-kali kamu, dong, Sayang. Aku ada rapat penting hari ini. Iya, kan, Buk?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
General FictionArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...