27. Merusuh di Tempat Kerja

130 10 0
                                    

“Makan yang banyak, Enggar,” kata Arum, menepuk bahu Enggar dengan perasaan sayang.

Arina dan Arini sampai dibuat melongo dengan keberadaan Enggar di rumah itu. Setelah sebelumnya mereka berdua mengira kalau Enggar adalah Hell Boy-nya Indonesia. Ya, karena muka merahnya itu.

Arum senang mereka salah satu orang yang tidak takut dengan keberadaan Enggar. Mereka bahkan dengan polos bertanya, “Hell Boy punya adek, ya?”

Meskipun Arina dan Arini tidak takut dengan mereka, Arum tetap berinisiatif membelikan Enggar kostum untuk menutupi wajahnya. Di toko 24 jam itu pun Arum membelikannya, dan Enggar pun kini bisa berjalan di keramaian tanpa harus capek melihat orang-orang jijik padanya. Bahkan sampai takut.

Sekarang Enggar tidak perlu menundukkan wajah kalau tahu ada pelanggan bengkel yang jijik padanya. Sekarang Enggar justru kelihatan keren.

“Belajar yang rajin di sekolah, ya?” kata Enggar pada Arina dan Arini saat sudah ada di depan sekolah mereka.

“Iya, om Batman,” jawab Arini, lalu nyengir.

Enggar tertawa. Arum pun ikut tertawa. Setelah Arina dan Arini sudah benar-benar masuk ke sekolahnya, kami pun pergi dari sana.

“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Enggar. “Ini jam kerja aku, lho, Arum.”

“Bantu aku dulu, dong, Enggar, ish, kamu.”

“Bantu apa, lho, Arum?”

“Bantu balas dendam, dong,” kata Arum tanpa beban sama sekali. Enggar mendadak murung setelah melepaskan kostum wajahnya. “Sebaiknya, kalau urusan itu, biar aku aja, Arum. Biar tangan aku aja yang kotor. Kamu jangan.”

Arum menoleh ke samping sebentar, tapi akhirnya mengabaikan Enggar. Arum tetap melaju dengan mantap. Beberapa saat, Enggar pun tidak lagi berkomentar untuk menyurutkan niat balas dendamnya. Enggar sekarang terdengar mendukung Arum seratus persen.

Tak butuh lama, di pagi hari saat jam kerja itu Arum melenggang masuk dengan enteng ke perusahaan HN milik Pak Hermawan. Sudah sarapan dan sehat bugar, maka sudah saatnya untuk bekerja. Kerja untuk merusuh pekerjaan orang lain. Sementara Enggar mengikuti dari belakang.

Lagi pula ini jelas salah mereka, membuatnya menjadi seperti Arum yang sekarang. Karena Arum dipecat dan diselingkuhi, kini akhirnya mereka sampai di titik bisa melihat sosok Arum yang berbeda. Arum menebarkan senyuman, tapi mereka seakan dapat membaca kode dari senyumannya, yakni, “tunggu giliranmu, baby.

Arum tidak bercanda. Mereka memang akan menunggu giliran saja. Karena Arum masih terlalu baik-lah mereka bisa bertahan dengan pekerjaan tersebut.

Benar, karena Arum terlalu baik. Setelah dia dapat melihat dengan jelas, mereka adalah ba-jingan. Arum tidak sudi orang-orang seperti mereka ada di sini. Arum seperti ingin memutar waktu, melempar mereka semua ke tempat yang semestinya.

“Bu Arum, saya mohon. Kali ini saya benar-benar akan dipecat.” Joko Wardoyo, sang satpam, sampai merengek di lutut. Enggar yang memakai penutup wajah ala mafia, menjauhkan Joko dengan mudah. Kali ini agak keras dengan nada mengancam, sehingga Joko tidak berani mendekat lagi.

Saat Arum melangkah menuju ke ruangannya dulu, kini giliran sekretaris Dirga (tapi itu bukan Anya Pelakor) yang merengek. Dia tidak ngeh sebelum diberitahu oleh teman-teman masa SMA yang sudah Arum tolong tanpa pamrih.

Arum mengabaikan mereka, para teman dari kalangan hamba sahaya tidak tahu terima kasih itu.

“Beneran dia orangnya? Aduh, Ibu, Ibu tidak boleh masuk.”

“Lho, kenapa tidak boleh?” tanya Arum, dengan nada dibuat-buat. Arum berhenti melangkah. “Oh ya, waktu acara syukuran saya waktu itu kalian nggak datang, lho. Cuma Ririn doang.” Mereka langsung salah tingkah mendengarnya, meski Arum tidak sedang menatap mereka, terlihat mengabaikan (soalnya muka mereka itu menjijikkan untuk ditatap lebih dari satu kali). Sementara si sekretaris baru atau terserah, dia kelihatan bingung.

Waktu acara syukuran yang Arum buat-buat itu memang tidak diharapkan yang buruk bakalan terjadi. Arum memang tidak ingin membuat gaduh (kecuali saat menerobos itu) dan merusak acara syukuran berisi lantunan doa-doa dan ayat suci. Karena itulah dia tak membahasnya selain menyiratkan bahwa acaranya berjalan lancar. Kealpaan mereka pada acara syukuran itupun memang sudah Arum tebak. Dengan berbagai macam alasan.

“Anak aku mendadak sakit, Arum. Maaf, ya?” Tut. “Arum, ini, lho, aku nggak bisa dateng nanti malem. Nenek aku jatuh di kamar mandi. Aduh, doain, ya?” Tut. “Sebel, deh, Arum. Padahal lima puluh meter lagi, lho, pake acara kempes segala. Sori, ya?” Tut.

Masih banyak lagi alasan mereka. Dan sebenarnya Arum sudah malas dengan mereka. Tapi kalian memang niat cari gara-gara, ya?

Selain Dirga dan si pelakor yang datang jauh-jauh sampai terjadi insiden penamparan terhadap Arini, ternyata mereka juga memanas-manasi Arum. Dengan pesan bahkan menelepon langsung.

Dengan itu semua dan puncaknya anaknya yang ditampar, pantaskah Arum diam saja?

“Aku jadi mikir, kalau kalian itu sukanya sama yang namanya pesta, gitu,” ucap Arum, sedikit melirik ke arah Darma, yang neneknya jatuh di kamar mandi waktu itu.

Arum malas menanyakan kabar neneknya hari ini. Bukan karena apa, tapi Darma itu neneknya sudah meninggal dua dekade lalu.

“Makanya sekarang itu aku dateng. Di jam kerja ini, aku mau ngajak kalian nge-DJ bareng. Ini aku udah bawa DJ spesialnya, lho. Namanya Enggar! Yeay!”

Enggar langsung berpose alay meski wajahnya tidak kelihatan. Bahkan Enggar menambah pose dadah-dadah manja ke mereka yang spontan melongo.

“Bu, udah, saya mohon jangan dibuka. Pak Dirga sedang rapat pribadi dengan Bu Ririn di dalam.”

“Rapat pribadi? Dengan Bu Ririn? Ah, jadi penasaran saya.” Si Sekretaris tercekat panik ketika Arum justru membuka pintu ruangannya dulu itu.

“Kamu diam. Mereka sedang rapat, tuh.”

Sepertinya ruangan Arum ini sudah direnovasi sampai kedap suara, sampai yang ada di dalam tidak dapat mendengar kedatangannya. Begitu juga dengan yang ada di luar, bahwa Dirga dan Ririn lebih dulu nge-DJ bareng sampai-sampai itu-nya mereka saling bersentuhan.

Lumayan mengejutkan. Arum hampir syok sebelum ingat kalau mereka sudah bercerai. Hanya saja, di pagi begini, mereka ...

Arum membuka sedikit lebih lebar (tidak dapat dilihat karyawan yang di belakang mereka), tapi Dirga dan Ririn masih belum sadar. Sepertinya dunia sedang milik mereka berdua saja.

Dirga oh Dirga. Baru saja menikah, tapi dapat selingkuhan baru. Sahabat duluku, lho, itu. Atau jangan bilang ...

“Ehem!”

Barulah mereka menyadari kehadiran Arum. Betapa kagetnya mereka. Ririn yang paling kaget dan buru-buru mencari pakaiannya. Mantan sahabat Arum itu sampai terpeleset. Karena dia orangnya baik, Arum membantu mengambil celana dalamnya di dekat pintu.

“Rin, ini, lho.”

“Arum ...” Tubuhnya bergetar, dan perlahan dia menangis. Arum mengangkat kedua bahu, cuek. Keputusan yang tepat waktu itu. “Ini, lho, celana dalam kamu ...”

Dia masih menangis, sementara kedua tangannya tetap tidak bergerak selain bergetar. “Arum, ini ... ini ... nggak seperti yang kamu lihat. Dirga yang ...”

“Hari ini aku ulang tahun, lho. Kamu mau hadiahin celana dalam bekas kamu bercinta dengan mantan suami aku, ya ...”

“He, he, celana dalamnya bagus, lho. Makasih, ya?”

***

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang