“Mau apa kamu ke sini?”
Arum mengajukan pertanyaan dengan gaya seperti Arum yang biasanya. Dia mengusir delusinya yang seakan sedang melihat masa depan, namun kenyatannya adalah semu. Lagi pula itu merupakan hal konyol untuk Arum lakukan. Ya, dia masih mencintai lelaki di hadapannya sekarang, akan tetapi seperti sebelumnya, dia bukanlah budak cinta.
Arum takkan menangis di hadapan lelaki ini lagi, lelaki yang sudah melahirkan rasa kecewa teramat sangat meremukkan hati.
“T-tunggu, aku datang bukan buat cari ribut,” kata Dirga, ketika melihat Enggar sudah sangat siap menunggu perintah.
“Arum, a-aku datang untuk Arini,” katanya.
“Setelah menyakiti dia dengan tangan kamu? Masih jelas di ingatan saya, lho. Kamu pikir saya akan membiarkan itu terjadi untuk kedua kalinya?”
Dirga diam untuk sesaat. “Arum ... Secepat itukah kamu berbicara asing sama mantan suami kamu ini?”
Arum juga diam hanya sesaat, sebelum bilang, “ya. Sekarang kamu pergi, kalau ternyata kamu hanya bicara soal asing dan sebagainya ..”
“Tunggu, Arum!”
Arum sedikit tertegun begitu melihat Dirga tiba-tiba berlutut. Bahkan Dirga menundukkan kepalanya dengan kerendahan yang belum pernah Arum lihat.
“Arini, izinkan Papa ngobrol sama kamu, Nak ... Papa mohon. Kamu tahu, setiap waktu Papa menyesali perbuatan Papa waktu itu ...”
Arini diam saja, tapi tubuhnya bergetar, seakan ingin menahan guncangan kerinduan. Arum dapat melihatnya dengan jelas. Saat Arini tumbuh, Arum tentu tidak bisa melupakan begitu saja hubungan kasih sayang di antara mereka berdua. Antara seorang anak yang selalu bahagia saat bersama ayahnya.
“Arini,” Arum berkata dengan lembut. “Kamu mau ngobrol sama Papa?”
“Y-ya, Ma, Arini mau,” jawab Arini, wajahnya menunduk.
Dirga langsung mengangkat wajah, tampak begitu senang.
“Baiklah ...” Arum menghela napas, lalu berbicara tanpa melihat ke arah Dirga. “Silakan mengobrol dengan Arini. Saya sendiri mau mampir ke rumah tetangga. Kalau dekat-dekat dengan kamu, saya jadi alergi. Apalagi kelihatannya kamu mau lama-lama bicara sama anak kamu. Menyesali perbuatan terkutuk kamu itu.”
“M-makasih, Sa—Arum!” Dirga sama sekali tidak tersinggung dengan omongan Arum. Walau dia nyaris keceplosan. Arum tak dapat menebak.
Kemudian Arum mengisyaratkan pada Enggar dan juga Arina untuk meninggalkan mereka berdua saja.
“Nggak usah khawatir, Arina,” kata Arum. “Kalau seorang lelaki sampai menjatuhkan harga diri demi anaknya seperti tadi, percaya sama Mama, semua akan baik-baik aja.”
Arina mengangguk.
“Mama mau ke rumah Bu Gani. Cuma sebentar, kok. Kamu di sini aja sama Om Enggar, tungguin mereka. Sambil liatin bulan purnama, tuh. Mana tahu kamu jadi vampir centil.”
“Ish,” sebal Arina.
Enggar tertawa lalu mengacungkan jempol pada Arum. Karena Arum mengatakan sesuatu tanpa didengar oleh Arina.
“Sa ... ntika. Sa ... mpoerna. Sa ... bisa ae lu.”
Arum berjalan sambil iseng menebak Dirga mau keceplosan apa tadi. “Itu orang mau ngatain aku apaan, sih, barusan?”
Kemudian Arum memandangi bulan purnama seraya tetap melangkah. Pikirannya tidak lagi pada Dirga, tapi omongan becandanya pada Arina. Arum bertanya-tanya, memangnya vampir cantik itu ada?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
General FictionArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...