38. Hitam dan Putih

132 10 0
                                    

“Kamu mau minta tolong?”

Arum tertawa tidak percaya begitu mendengar omongan Dirga, mantan suaminya. Arum pikir akan ada omongan penuh penyesalan di malam itu, mengingat ada air mata di antara Dirga dengan Arini.

“Jadi kamu nggak seratus persen datang untuk anak kamu?”

“A-aku benar-benar datang buat Arini, Arum,” kata Dirga. Tapi Arum sudah kehilangan respek seperti sebelum saat Dirga menundukkan kepala. Katanya demi Arini, ternyata hanyalah omong kosong.

Atau jangan bilang kalau Ardian juga ...

Arum menggeleng sekilas. Tidak, tidak, musuh utama Arum di sini sungguhan Dirga dan teman-teman masa SMA-nya dulu. Bahkan Ririn, Arum benar-benar tidak mempercayai air mata palsu dari wanita itu lagi.

Ardian berbeda dengan dua orang ini, dua orang yang tidak berperasaan. Demi harta dan tahta, mereka sampai sejauh ini. Karena insecure-lah, karena apa-lah. Apakah mereka pernah berpikir untuk bertanya bagaimana hati Arum yang dikecewakan?

Mereka hanya bisa menangis dan meminta tolong seperti sekarang, tanpa pernah bertanya dan memahami perihal hatinya yang terluka. Mereka berdua tidak menunjukkan sikap yang pantas untuk bisa Arum maafkan.

Ardian terus menelepon dan berupaya, tapi Dirga? Lelaki itu tidak melalukannya. Dirga malah menunjukkan sikap seorang pria pengecut. Dari awal mengenal, Arum seharusnya menyadari betapa pengecutnya seorang Dirga Tegar Mulyana.

Memang benar Dirga sudah memberikan hak asuhnya karena kasihan akan penyakit delusi Arum. Tapi, hanya itu kan? Selebihnya, bagaimana sikap Dirga pada Arum? Seorang mantan suami yang angkuh. Membanggakan prestasi perusahaan, padahal itu bukan karena dia. Lalu hal yang membuat kebencian Arum memuncak adalah Dirga tega menampar anak kandungnya sendiri. Arini.

“Aku mohon, Arum. Tolong aku.”

Dirga kembali memohon. “Apa kamu nggak kasihan sama aku, Arum?”

Arum mendesah lagi, benar-benar tidak percaya. Bisakah lelaki di depannya sekarang  berpikir dengan nalar, siapa yang pantas dan tidak untuk dikasihani?

Arum berbalik dan mengangkat sebelah tangannya.

“Arum!”

Arum tersentak begitu Dirga nekat memegang lengan Arum. Dirga membuat Arum kembali membalikkan badan dalam dekapannya. Lelaki itu mendekatkan wajah. Mereka saling berhadapan hanya beberapa senti saja. “Arum ... aku tahu kamu masih cinta sama aku ...”

Arum tak merespon.

“Aku cinta sama kamu, Arum,” kata Dirga. “Aku sama Anya, kami sebenarnya nggak ada hubungan apa-apa. Anak di kandungannya itu bukan anak aku. Kamu tahu, gadis nakal seperti dia memang pintar bikin drama. Lalu, aku sama Ririn waktu itu ... kamu tahu, hanya sebatas frustasinya yang namanya anak kantor. Suatu hal yang biasa, Arum. Hal biasa ...”

Arum masih tak merespon, selain sebelah jemarinya yang terkepal lembut namun bisa merenggut siapapun—karena Arum bukan wanita seperti pada umumnya. Dia adalah Aruma, wanita yang tumbuh dengan derita dan nelangsa.

Arum tumbuh menjadi wanita kuat, sampai-sampai orang mengira dirinya adalah monster. Dengan rasa kecewa yang Arum terima sampai detik ini, orang-orang dapat mewujudkan tuduhan tersebut. Monster itu akan datang pada mereka.

Hanya karena sikap pendiamnya yang aneh, lalu kemampuan beladirinya (atas dasar keinginan kuat untuk bertahan hidup), mereka mencapnya sebagai monster. Padahal setahu Arum, monster itu bertubuh besar, berwajah menakutkan, dan bukan manusia. Jika itu hanya sekadar majas, Arum sungguh tidak menyukainya. Seperti saat mereka memanggil nama aslinya. Arum benar-benar sungguhan tidak suka. Karena dirinya tahu kalau majas yang mereka lemparkan bukanlah majas yang positif.

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang