“Saya sangat suka dengan hasil fotonya.”
Arum memuji seorang fotografer yang telah dia jalin kerjasama itu. Bersama dengan suaminya, Mas Dirga, lalu kedua anaknya, Arina dan Arini, Arum menjalani sesi pemotretan keluarga di sebuah taman bermain yang megah. Sudah lama Arum ingin foto bersama keluarga kecilnya. Karena sibuk bekerja sebagai direktur, baru hari ini keinginannya kesampaian.
Arum merasa beruntung dengan apa yang telah diraihnya. Direktur di perusahaan besar, dan foto keluarga kecil yang sebentar lagi akan dia pajang di rumah. Arum sudah tidak sabar.
“T-terima kasih banyak, Bu!” Lelaki muda itu sangat senang mendengarnya.
“Kamu baru di bidang ini?” tanya Arum, tak percaya kalau si fotografer adalah seorang newbie. Jujur saja, foto-fotonya memang bagus, dan Arum benaran menyukainya. Arum mendapatkan kontaknya dari Ririn, temannya di kantor.
Si fotografer terlihat malu, mungkin dugaan Arum benar. “Oke, saya mau foto yang ini dicetak paling besar, seukuran segini.”
Arum antusias sekali, tak peduli dia ternyata mendapatkan fotografer pemula. Hal terpenting Arum puas dengan fotonya, dan sudah tidak sabar untuk memajangnya di ruang tengah. Saat pulang dan letih sehabis kerja, Arum akan melihat foto itu dengan perasaan bangga dan bahagia.
“Baik, Bu. Terima kasih sudah menghubungi dan ...”
“Mempercayai saya?” Arum membantunya.
“Ah, ya!” Si fotografer tertawa malu lalu membungkuk sebagai tanda terima kasih. “Sekali lagi terima kasih banyak, Bu. S-saya pamit kalau begitu. Mari.”
“Ya, mari.”
“Fotonya bagus banget,” kata Arum, menghampiri Mas Dirga yang sedang menonton berbagai macam permainan di sekitarnya. Sementara Arina dan Arini sibuk selfie, wajah mereka riang sekali.
“Oh ya?” Mas Dirga mendekap bahu Arum dengan mesra.
“Ya, biarpun anak itu masih pemula,” kata Arum.
“Pemula? Seriusan kamu?” Mas Dirga kelihatan tak percaya. “Apa fotonya beneran bagus? Jujur aja, nanti aku bilangin sama dia. Terus kita cari fotografer yang lain. Ya ...”
“Beneran bagus, Mas,” potong Arum dengan sungguh-sungguh. “Udah lama aku pengen foto keluarga dengan tema ala-ala Disney gini. Dan hasilnya, wow. Anak itu berbakat, Mas.”
“Ya udah kalo gitu. Kamu senang, aku juga ikut senang, Sayang.”
“Ya, aku senang banget hari ini. Makasih, ya, Mas?”
Mas Dirga semakin mendekap Arum dengan erat, terasa begitu hangat. “Mm, Mas ke toilet bentar, ya? Mendadak kebelet.”
“Ya, Mas. Jangan lama-lama.”
“Oke.”
Kemudian Arum menghampiri anak kembarnya. Arina berambut panjang sementara Arini, rambutnya pendek. “Mama nggak diajak, nih?” tanya Arum pada mereka.
“Eh, Mama, sini!” seru Arina.
“Mama di tengah!”
Kemudian Arina meminta tolong salah satu pengunjung untuk memotret. Arina tampak memilih-milih sampai memberhentikan seorang remaja.
“Oh, oke,” kata remaja itu lalu menyuruh kami untuk berpose. “Satu, dua, ti ... ga. Satu, dua, ti ... ga.”
“Makasih, ya, Abaang,” kata Arina dengan nada centil. Arum memicingkan mata seraya mencubit gemas Arina diam-diam. Masih SMP juga.
“Abisnya ganteng, he, he,” bisik Arina.
“Nggak boleh, masih kecil.”
“Iya, Ma, maaf. Peace.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
Ficción GeneralArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...