“Sekar Atmaja?”
Arum berbicara soal mantan sekretaris yang akan selalu ada di hati. Arum tak membicarakan soal bo-dohnya Sekar, karena dia tahu Sekar melakukannya demi sebuah bukti. Bahwa Sekar sungguh menyesali kebohongannya.
“Ah, nggak ada apa-apa, kok, Bu. Itu di ruangan sana ada hantu, hii. Kita ngopi aja yuk di bawah, he, he!”
Bukan satu kali saja Sekar mengatakan hal serupa, dan Arum yakin itu tentang Dirga yang sedang berselingkuh. Di kantor yang sama, saat Dirga beralasan melakukan hubungan kerja sama. Sebagai seorang istri, Arum merestui. Dan sebagai seorang istri yang baik, sudah selayaknya tidak menaruh rasa curiga terhadap suami sendiri. Tapi apa yang Arum dapatkan adalah rasa sakit dan kecewa.
Bayangan apa yang dilakukan Dirga dengan Ririn di ruangan waktu itu langsung menusuk pikirannya. Dada Arum terasa sesak memilukan. Siapa yang tidak kecewa saat seorang istri sepenuhnya percaya, sementara dari jarak yang begitu dekat, Dirga melakukannya dengan wanita lain. Wanita yang masih muda. Wanita muda nan cantik, penyebab Arum dipecat dari pekerjaan impiannya.
“Ya,” kata Arum pada Bu Maya. Tetapi pikiran Arum melayang pada masa lalu. Jika mesin waktu itu benar-benar ada, Arum pasti akan memilih kembali pada waktu itu.
“Anak yang benar-benar bo-doh!” Bu Maya mengumpat. “Buat apa dia melibatkan orang lain yang sebenarnya bukan masalah besar?”
Arum tersenyum. “Sebenarnya itu bukan langkah yang bo-doh, Bu Maya.”
“Benarkah?” Bu Maya menantang. Arum mengangkat kedua bahu dengan senyum yang santun.
Arum tak perlu mengatakan, karena dia yakin Bu Maya mengetahui apa maksudnya. Kalau Sekar berhasil mengatakan dan Arum tak egois dengan rasa sedihnya saat itu, maka bukan wanita malang itu yang bakalan pergi. Tetapi orang lain yang benar-benar pantas mendapatkannya.
“Oh ya, ngomong-ngomong apa kabar dengan desa Pelita Ayu?” Bu Maya mengalihkan. “Sudah begitu lama sekali saya tidak mengunjunginya.”
“Masih serupa, hijau dan menentramkan jiwa. Tidak ada tangan-tangan jahat yang berani mengusik hijaunya Pelita Ayu.”
“Hah!” Bu Maya menunjuk setelah menyentak meja. Kelihatan seperti seorang lansia yang kembali menjadi anak kecil penuh semangat. “Tak salah saya sangat merindukan Pelita Ayu!”
“Oh ya? Anda merindukan kampung halaman saya?”
“Tentu, kamu tidak tahu ada momen tak terlupakan saat saya ada di sana. Terutama saat saya menginjakkan kaki di air terjun itu.”
Ada jeda hening yang terasa begitu merambat di antara Arum dan Bu Maya. Arum yang tanpa ekspresi dan Bu Maya yang tersenyum penuh teka-teki.
“Lain kali saya bisa mengajak Anda ke sana,” ucap Arum. Dia masih bersikap tenang meski aura di ruangan saat itu benar-benar sudah sangat berbeda. “Saya juga bisa menjadi sopir dan mengantarkan Anda ke tempat air terjun itu.”
“Benarkah? Saya tidak sabar menantikannya!”
Arum melekukkan bibir ke bawah, sebentar memandang kedua jemarinya yang terkepal lembut. “Tapi, apakah Anda tidak mengetahui kalau air terjun di Pelita Ayu itu angker dan penuh marabahaya?”
Bu Maya tersedak selesai menyesap sedikit teh dari gelas sebesar kepalanya. Arum tahu kalau Bu Maya hanya berpura-pura. Dari tertawa, hingga perlahan ekspresi wajahnya berubah menjadi serius.
“Aruma, kamu tahu bahwa memiliki anak yang bo-doh adalah musibah,” ucap Bu Maya, dengan kesungguhan. “Hanya saja dia tetap anak dari rahim yang sudah berusia senja kala itu. Anak bungsu yang mustahil lahir ke dunia. Sebuah keajaiban, yang pada akhirnya membuat saya begitu menyayangi Mawan.”
Bu Maya kembali menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong.
“Di ruangan ini kamu berani mengatakan sesuatu yang menyentak perasaan seorang ibu. Ya, saya tahu alasannya, berdasarkan ceritamu soal gadis muda bernama Sekar Atmaja itu ...”
Bu Maya kini menatap Arum. “Lakukanlah jika kamu bisa, Aruma. Maka itu akan menjadi ironi. Di saat saya menyayangi Mawan sekaligus membenci. Saya ingin dia selalu ada, tapi di lain hati, justru menginginkan hal yang sebaliknya.”
“Ironi, bukan?” Bu Maya tersenyum, di saat Arum membalas dalam diam.
***
“Mari, mari, Bu Direktur!” seru Pak Abraham penuh semangat.
Malam itu Arum tak beristirahat setelah obrolan singkat namun terasa panjang dengan Bu Maya. Dia harus kembali melanjutkan sikap tenangnya seperti direktur yang anggun dan berwibawa.
Sebenarnya Arum tak ingin ada di sana dan juga melanjutkan rencana pernikahannya dengan Ardian. Dikarenakan Ardian terus mengganggunya sampai Arum rela membuang HP ke jalanan. Tidak sampai di sana, Ardian melakukan banyak percobaan untuk meluluhkan hati Arum.
“Kamu belum memberitahu mereka soal putusnya hubungan antara kita?”
Saat itulah terpintas niat Arum untuk menculik Ardian di satu kesempatan. Murninya untuk mempermainkan rasa takut Ardian, di samping Arum yang ingin melanjutkan rencana pernikahan mereka. Memberi syarat-syarat yang tidak boleh dilanggar atau pantang untuk dilakukan. Jika Ardian melanggar, Arum takkan segan mempermalukan Ardian di depan semua orang termasuk Pak Abraham dan Bu Mega.
Dalam minggu ini, pernikahan mereka akan dilangsungkan dalam gelaran yang kata Ardian akan sangat mewah. Arum tak tersentuh akan hal tersebut, toh, dia sungguh tidak peduli akan kemewahan. Hanya rumah dan mobil yang dimiliki Arum sebagai aset mewahnya. Selebihnya, Arum seperti ibu-ibu pada umumnya, yang suka berburu diskon tupperware dan semacamnya. Dengan kekayaan yang Arum miliki, dia bisa membeli dan membangun kemewahan. Tapi dia bukan tipe wanita seperti itu.
Arum hanya ingin ...
“Bu Arum?” Bu Mega menyentuh bahu Arum, menyadarkan lamunan tentang sebuah mimpi yang pernah dibicarakan dengan Edo dan Yan di satu kala yang menentramkan jiwa.
“Mimpi macam apa itu, Arum?” ledek Edo.
“Banyak melamun nggak baik, lho, Bu Arum!” Bu Mega menepuk bahu Arum.
“Bu Arum lagi ngelamunin gimana saat malam pertama nanti sama Ardian, si berondong muda, ya?”
“Mama!” Ardian memerah malu.
Bu Mega semakin gemas menggoda Ardian. “Idih, mukanya merah gitu, lho, Pa! Ardian juga nggak sabar nih malam pertama sama Bu Arum!”
Meja makan berlapis perak ramai akan tawa dan canda. Arum lebih banyak tersipu, padahal kenyataannya dia ingin segera enyah dari sana.
Aku nggak akan pernah lupa kalau aku ini hanyalah alat, Pak, Buk.
Kalian bisa tertawa saat ini, tapi apa kalian bisa di saat aku menjalankan rencana yang sesungguhnya?
Dipecat dan tak lagi menjadi direktur di HN ternyata tidak semenyakitkan itu. Di saat Arum melihat perusahaan yang lebih besar. Terdengar licik, tapi salah siapa ketika dirinya dipancing sementara sudah tak lagi peduli?
Arum tak terobsesi, tapi Ardian terus saja mengganggu, sampai membuat dirinya pun berfantasi. Bagaimana kalau misalkan Arum menjadi direktur di induk perusahaan Megantara? Ah, pasti menyenangkan.
Cup.
Tanpa mereka duga, Arum dengan mantap mengecup pipi Ardian. Lelaki tampan yang duduk di sebelah kiri Arum itu langsung terpaku. Sementara Edo si Sad Boy baru saja muncul dengan ekspresi terkejut.
“B-Bu Arum? Kenapa Ibu ada di sini?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
Narrativa generaleArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...