17. Rasa Sakit yang Luar Biasa

181 7 0
                                    

“Iya, Arini. Bentar lagi Mama pulang, Nak.”

Karena kasihan Arum akhirnya mengangkat salah satu telepon dari mereka. Arini yang paling tidak menyerah menghubunginya, sampai Arum harus mematikan HP.

“Maaa, udah, dong. Jangan gitu sama kami, Maaa. Kami semua sayang sama Mama, tau nggak? Arini sayang banget sama Mama. Tadi Arini nggak mau sarapan, kalau bukan Mama yang masak. Terus Papa ... Arini minta Mama maafin Papa, ya ... Arini nggak mau kalian pisah ...”

Arum meneteskan air mata, tapi diam saja mendengar curhatan Arini.

“Arini pernah dengar, bukankah orang dewasa itu bijak dalam memaafkan seseorang ... Ma, Arini mohon ...”

Arum tertegun beberapa saat, lalu menggeleng. Papa kamu yang nggak bijak dalam menjaga kepercayaan Mama, Nak. Hati ini hancur lebur akibat ulahnya. Mau bijak yang bagaimana, Arini?

“Nanti kita sambung ya, Nak. Bentar lagi Mama pulang, kok. Mama ke bengkel sebentar, ban mobil Mama kurang angin. Tunggu Mama di rumah ya, Nak? Mama sayang kamu, juga Arina.”

“Iya, Ma ...”

Arum menutup sambungan lalu menghela napas berat seperti orang yang ditimpa ribuan masalah.

“Perceraian adalah jalan terbaik,” gumam Arum, sudah bulat. Benar, tak ada jalan lain, setelah Arum mengetahui semuanya. Alasan Mas Dirga berselingkuh darinya. Alasan yang sungguh konyol, hingga rasa-rasanya Arum ingin tertawa sekeras mungkin. Bagaimana hal itu bisa menjadi alasan Mas Dirga tega melakukannya?

Bahkan sebenarnya Arum tidak percaya. Memang pada dasarnya saja lelaki yang dia percaya itu ternyata seekor buaya menjijikkan. Buktinya adalah Mas Dirga menjadi sinting dan tega membentak-bentak hanya karena Arum merundung ja-lang itu. Terlebih Mas Dirga juga marah karena takut akan dipecat oleh Pak Hermawan. Takutnya itu benar-benar seperti babu yang hobi menjilat penguasa. Bukan takut seperti yang dia bilang melalui Ririn. Bukan ...

Jadi apakah Arum mesti percaya dengan alasan Mas Dirga? Apa Mas Dirga telah lupa dengan alasannya tersebut, sehingga tega berselingkuh? Sungguh konyol.

Arum menangis seraya tertawa lalu menyekanya. Arum menguatkan diri sambil memukul-mukul pelan setir mobil. “Inilah yang terbaik,” gumamnya.

Arum beranjak keluar dan menutup pintu mobil dengan cukup keras. Masih ada sisa muak di dalam dirinya terhadap Mas Dirga. Serasa takkan hilang untuk selamanya. Jelas.

“Isi angin, Bang,” kata Arum seraya mengangkat sebelah tangan.

Seorang tukang bengkel mobil pun dengan sigap mengisi angin ban mobil Arum yang memang terasa kurang anginnya. Bukan sekadar alasan Arum tak ingin melanjutkan obrolan dengan Arini.

Sementara laki-laki berewok itu mengisi angin, Arum melirik salah seorang tukang atau montir yang lain. Bukan maksud tergoda, melainkan Arum takjub dengan cekatannya tukang itu mempreteli sebuah mobil.

“Dia baru, Bu. Tapi kerjanya bagus banget. Orangnya pendiam, katanya sih dari kampung. Terus dia merantau itu mau cari temannya.”

“Oh. Tapi mukanya itu kenapa?”

“Ha, ha, itu biasa anak laki-laki. Suka main api, tapi ya apes aja dia. Dia sendiri kok yang bilang. Oh ya, bannya sudah beres diisi angin, Bu.”

Saat Arum kembali meliriknya, ternyata dia juga melirik ke arahnya. Dia tersenyum, sedikit membuat Arum kaget. Sesaat, Arum balas tersenyum pula tanpa berkata apa-apa. Setelah membayar uang isi angin, Arum langsung pergi.

Dia kayak familiar ...

“Mukanya ada bekas luka bakar, Arum. Nggak cuma suami kamu yang bikin aku babak belur, tapi dia juga. Aku pikir dia orang yang sama pas ban mobil kami pecah. Soalnya ada dikit cahaya kilat dan aku mikir udah ngeliat bopeng. Sumpah, Arum, aku mikir dia mau bu-nuh aku.”

“Jadi aku mohon, Arum. Cukup dua orang aja. Aku nggak mau Ririn juga. Ampun! Jawab aku, Arum! Jangan matikan lagi sam—”

Arum mengangkat kedua bahu cuek lalu menghidupkan mobil dan perlahan menjauh dari sana. “Bukan cuma dia saja yang mukanya ada bekas luka bakar di seluruh wajah. Mungkin ada banyak laki-laki yang sama, biar aku nggak pernah lihat dan baru kali ini. Ya ...”

“Itulah kenapa umur para lelaki lebih pendek. Selalu memulai permasalahan yang tak semestinya dilakukan.”

“Demi ja-lang, kamu campakkan aku, Mas. Silakan menuai apa yang sudah kamu tabur.”

Mobil Arum sudah memasuki komplek dan satpam menyapa seperti biasa. “Ini, Pak. Bonus karena sudah menjaga keamanan komplek.”

Mata si satpam terbelalak senang. “Wah! T-terima kasih banyak, Bu Arum!”

“Sama-sama. Oh ya, apa warga komplek sudah tahu semua soal perihal rumah tangga saya? Soal saya yang teriak-teriak? Saya berharapnya satu dua tetangga saja. Ya, meski itu tidak mungkin ...”

Si satpam membisu untuk sesaat setelah mendengar omongan Arum. Dengan takut-takut dia bilang, “s-saya tidak yakin, Bu—“

“Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Mari ...”

“KALIAN TAHU? SUAMI SAYA TELAH BERSELINGKUH!” Air mata itu tumpah semakin dalam.

“M-mari, Bu Arum. Oh ya, jangan patah semangat, ya, Bu—dan sekali lagi, terima kasih rejekinya, Bu! Ya Allah! Hamba memang butuh! Alhamdulillah!”

Arum senang melihatnya, selalu menyukai hal-hal manusiawi seperti ini. Meski banyak yang bilang Arum adalah monster. Arum pikir itu dulu ... Tapi ternyata masih ada yang menganggap dia sosok wanita yang mesti dijauhi.

“Jeng Arum!” Pikiran Arum langsung teralihkan.

Rupanya Bu Gani yang memanggil sementara mobilnya berjalan pelan. Arum tersenyum lalu memberhentikan mobil, begitu melihat Bu Gani berlari menghampiri.

“Mampir sebentar ke rumah, dong, Jeng Arum! Saya ada kue buat Ajeng, lho! Suami saya baru naik jabatan! Senangnya! Terus kami ngerayain gitu, hi, hi!”

“Oh ya? Selamat, lho, Jeng!” Diam-diam Arum menghela napas. Lalu dengan segan Arum berjalan masuk ke rumah Bu Gani.

Bu Gani memberikan kue brownies yang sangat menggoda, tapi tidak untuk Arum saat itu. Arum menerimanya, memasang senyum dan berusaha tidak membuat hati pemberi tersinggung.

Saat mau pamit karena sudah ditunggu orang rumah, Bu Gani memegang bahu seakan sedang memberikan simpati. “Semoga masalah Jeng Arum dapat diselesaikan, ya, Jeng?”

Arum merasa takjub dengan simpati yang diberikan oleh Bu Gani. “Sebagai tetangga, hanya ini yang bisa berikan untuk menyemangati Jeng Arum,” ucapnya lagi.

“Ya, makasih banyak, Jeng,” kata Arum, kedua tangan mereka berdua kini saling mengusap.

“Nggak enak hati saya, lho, pas lagi senangnya paksu naik jabatan di salah satu anak perusahaan Megantara Group, tapi Jeng Arum malah ... Ah, pokoknya kue yang indah ini beneran saya harap bisa memberi semangat buat Jeng Arum.”

Arum menghapus senyum perlahan, lalu tersenyum lagi dan tertawa. “Mari, Jeng!” pamit Arum akhirnya.

“Tetap semangat, Jeng! Biar bagaimana pun masalah kita, harus dihadapi dengan senyuman!”

Arum tersenyum lagi sebelum mengklakson, hingga mobilnya bergerak menjauh dari rumah Bu Gani.

Sebentar saja Arum menatap kekosongan yang menyakitkan.

“Ada maunya itu, si Gani. Yakin banget aku. Tapi apa, ya? Aku beneran penasaran, suer!”

Arum tertawa dengan air mata, meski hanya setitik. “Aruma, kenapa harus ...”

“AAARGHHH!”

Suara teriakan dan klakson pun berhamburan terdengar nyaring namun pilu dan teramat menyakitkan.

***

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang