45. Pembalasan dan Pengampunan

251 10 0
                                    

Bam! Brak!

Satu bantingan membuat Pak Hermawan ambruk bersama meja yang hancur. Arum tersenyum, melihat darah di tangannya. Bukan darahnya, melainkan darah Pak Hermawan. Lelaki yang menyulut amarah seorang Aruma.

“Aruma ... bagaimana bisa kamu masih—“

Arum memotong omongan Pak Hermawan membanting lelaki paruh baya itu lagi. Pak Hermawan kembali mengerang kesakitan. Tubuh Pa dengan k Hermawan tergores vas mahal yang hancur bersamaan dengan bantingan tersebut.

“Maaf, saya tidak bisa menuruti keinginan Sekar Atmaja,” ucap Arum, dengan senyuman aneh yang tidak pernah dia tunjukkan, bahkan di depan karyawannya. Ini lebih dari sekadar senyuman khas seorang direktur untuk menekan para bawahan.

“Anda telah menyerang seorang perempuan, Tuan CEO yang Terhormat. Apa Anda pantas disebut laki-laki?”

Sekarang giliran Pak Hermawan yang sekarat. Dia melolong seperti serigala yang berada di ambang ajal. Tidak perlu menembak dengan pistol sudah cukup membuat lelaki itu tersungkur tak berdaya.

“A-ampuni saya, Aru—“

“Oh, ayolah,” kata Arum, tertawa.

Arum melihat reaksi kaget Pak Hermawan begitu Arum tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Sementara dia masih dapat mendengar suara Arum.

“Dulu saya adalah anjing Anda, Pak ...”

“A-Arum, saya mohon!” Pak Hermawan ketakutan bukan main. Di ruang kerja pribadinya, dia hanya seorang diri. Sementara di luar, Arum telah membuat mereka tidur, satu per satu.

Sembari menunggu pagi, tidak ada salahnya bersenang-senang dengan Pak Hermawan.

“Saya menuruti perintah Anda, termasuk menghadapi para preman yang meminta jatah dan mencoba mengusik operasional HN kala itu. Anda melihat potensi saya dan saya pun menerima tawaran Anda. Wawancara dengan Anda telah membuka pintu begitu lebar bagi saya demi menjadi seorang direktur, dari ratusan calon yang saat itu jauh lebih mumpuni.”

“Arum! Saya mohon—“

Bam!

Lagi-lagi Arum melakukan gerakan membanting setelah membelit Pak Hermawan secara mendadak. “Uargh ...”

“Pejamkan mata Anda, kalau sudah benar-benar ajal sudah menjemput, Pak. Jangan dipaksa.”

“Kau ... monster ... Ja-lang ...”

Arum tersenyum tipis. Sepertinya Pak Hermawan memang sudah di ambang batas. Orang jahat itu ada dua ketika ajal menjemput. Pertama, mereka ketakutan seperti tikus mencicit. Sementara kedua, “perse-tan dengan Neraka”.

Masalahnya Arum belum pernah melakukan hal semacam ini. Membuat seseorang tinggal menunggu waktu seperti sekarang. Apa yang Arum katakan pada Bu Maya dan Anya, hanyalah gertakan dan permainan pikiran. Dengan Anya, Arum berhasil melakukannya. Sementara Bu Maya, mungkin juga berhasil, akan tetapi wanita sepuh itu gagal untuk menasihati sang anak.

Delusi si-alan itulah yang selama ini membuat Arum seperti seorang wanita kejam. Setelah masa lalu yang benar-benar Arum lalui dalam kelam.

Aku tidak sekejam itu ... Justru aku adalah wanita lemah dengan hati yang rapuh. Disakiti oleh cinta hingga terasa sulit tuk mengayuh.

“ ... “

Arum memejamkan mata sekilas saat delusi berupa bisikan kembali menyerangnya. Pergilah.

Beberapa saat Arum menenangkan pikirannya, lalu melangkah mengitari Pak Hermawan. Arum berhenti tepat di samping Pak Hermawan hingga akhirnya menarik kerah kaos oblong lelaki itu. Pak Hermawan sudah sangat acak-acakkan. “Anda meminta pengampunan? Baiklah. Sa—“

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang