“Nikmat, Ardian ...”
Rasanya sama seperti saat Arum berumah tangga dengan Dirga dulu. Ardian Megantara membuatnya mabuk kepayang. Mereka rajin bercinta selayaknya pasangan muda yang dimabuk asmara. Sudah berlangsung selama dua minggu.
“Kalau halal begini, aku ngerasa seperti benar-benar di Surga, Sayangku Ardian,” kata Arum, merasakan getaran nikmat di jiwa.
“Aku juga, Sayang,” balas Ardian dengan tatapan mesra.
Pikiran-pikiran karena urusan kantor, lalu mengadu domba keluarga Megantara dengan Hairlangga, sampai urusan galau adik iparnya, Edo Dewantara. Semuanya lebur ketika Arum bercinta dengan Ardian. Seperti wanita pada umumnya, ketika bersama lelaki yang dicinta, dunia akan terasa milik mereka berdua. Dan usia hanyalah angka.
Lagi pula urusan Edo tidak terlalu berat di pikiran Arum. Arum yakin Edo dapat mengatasi masalahnya dengan wanita penderita bipolar alias sang mantan pacar, si Dara. Terlebih saat Arum meninggalkan Edo sendirian, lelaki itu tersenyum.
So, all is well.
Mengenai nama panggilan, suami Arum sekarang tidak seegois dan senaif Dirga dulu. Mereka sudah berbicara dari hati ke hati, yang sudah seharusnya dilakukan dalam sebuah hubungan rumah tangga.
Arum tidak terbiasa dengan panggilan “mas”. Mungkin juga karena suaminya sekarang berbeda. Walaupun sesekali memanggil “mas” untuk menambah bumbu-bumbu cinta, Arum lebih suka dengan ...
“Sayangku Ardian, udah waktunya jemput Arina sama Arini, lho,” kata Arum, mengelus lembut pipi Ardian.
Sementara di luar sudah mulai sore dan memang waktunya untuk menjemput Arina dan Arini. Mereka jelas sudah selesai dengan jadwal tambahan di sekolah.
“Bareeeng,” ucap Ardian manja.
“Heh, mau nambah lagi?” Arum langsung merasakan ada yang menonjol begitu Ardian menggeliat lebih erat ke depan.
Ardian mengangguk berkali-kali dengan cepat, seperti anak kecil yang nakal.
“Jemput anak-anak dulu. Nanti malam kita lan—“ Omongan Arum terhenti.
Karena napsu yang belum usai, Ardian menuntaskan ronde yang terakhir. Ardian mempercepat tempo karena dikejar waktu juga.
Anak-anak pasti kesal kalau mereka terlambat menjemput.
***
“Kalian telat lima belas menit,” kata Arini, bergaya seperti polwan anak baru gede.
“Hukuman, dong,” lanjut Arina. Arini mengangguk dengan mantap seraya mengembang-kempiskan hidungnya.
Arum menghela, sementara sisa-sisa kenikmatan dengan Ardian masih terasa. Padahal dirinya sudah berusia tiga puluh enam tahun, tapi Arum merasa seperti berusia dua puluh tahun yang sedang panas-nya. Tidak ada bosan dan jemu akibat persoalan disekitarnya—termasuk menjemput anak-anaknya. Arum benaran tidak sabar untuk melanjutkan cinta-nya dengan Ardian.
Ya, Arum masih belum puas dengan pengantin barunya. Bu Direktur dengan wajah judes nan kelam itu ternyata memiliki gairah yang begitu tinggi.
“Napsu kamu besar sekali, Arum! He, hei, sudah! Ha, ha!”
Dengan Dirga dulu, Arum merasakan sensasi yang sama. Bahkan setelah berjalan empat belas tahun, Arum tetap merasa seperti pengantin baru. Mungkin itulah yang Arum rasakan begitu bersanding dengan orang yang betul-betul dia cintai.
“Lebay. Lima belas menit doang,” ucap Arum.
“Heloooo!” seru Arina dan Arini dengan kompak. “Lima belas menit itu lama, cooy! Jangan dibiasain, ya, orang dewasa? Nanti Indonesia nggak maju-maju!” beritahu Arini dengan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
General FictionArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...