39. Kekurangan Arum

92 8 1
                                    

“Cie, lagi TTM-an sama Aldi, nih, ye!”

Arini masih merajuk sejak Arum melarangnya berhubungan dengan Dirga untuk selamanya. Sudah Arum beritahu sejelas-jelas bahwa Dirga tidak lagi sama seperti dulu.

“Papa kamu itu sekarang benalu, percaya sama Mama. Dia ngobrol manis-manis di depan kamu, cuma manfaatin kamu. Hei, kamu dengar?”

Arum teringat dengan Dirga yang tiba-tiba mengajaknya bicara di kamar saat mereka bersama dulu. Seharusnya Arum menolak, toh, mereka sudah bukan suami istri lagi. Kenapa harus bicara di kamar, kenapa tidak di tempat lain. Dirga beralasan ada barang lama yang ketinggalan, sekalian ingin diambil.

Sekarang Arum sudah sangat benci pada lelaki itu sampai ke ubun-ubun. Terima kasih buat masa lalu, Dirga! Terima kasih! Tapi itu hanya masa lalu! Sekarang dan masa depan, aku tidak akan pernah sudi bersanding dengan kamu!

“Belajar yang rajin,” kata Arum, begitu sampai di sekolah Arina dan Arini. Adik Arina yang menggemaskan itu masih saja merajuk. Arum hanya menggelengkan kepala, dan menghela.

Arum yakin Arini masih membutuhkan waktu untuk mencerna. Dan Arum yakin Arini akan mempercayai omongannya soal Dirga, lelaki tak berguna yang sedang berada di ambang pemecatan. Bersama yang lainnya. Pemecatan massal.

“Assalamu’alaikum, Bu Arum!”

Baru saja Arum berbelok dengan hati gembira ke tempat perusahaannya Ardian, PJYA, tiba-tiba Bu Saila menelepon panik. Arum menyipit begitu Bu Saila selesai memberitahu apa yang sedang terjadi di Yayasan Sarapan Gratis Aruma.

“Breng-sek. Dia benar-benar ...”

Arum memang membenci nama Aruma, tapi itu mendapat pengecualian, di samping dia dikatakan monster. Biar bagaimana pun Aruma adalah nama pemberian ibunya kata orang-orang dulu. Saat Arum mengenal dunia tapi tidak mengenal dan mengetahui siapa ibunya. Hanya nama itu peninggalan, yang justru membuat Arum tidak suka. Arum ingin seperti anak lainnya kala mereka membenci seorang ibu, “Mama, kok gitu, sih?” “aku kan pengen dikasih nama Spiderman!” “Mama jahat!”

Sama halnya seperti Arini, yang sekarang membenci Arum sebagai ibu. Akan ada masa di mana ibu itu akan menjelaskan, “Nak, nama Aruma adalah nama terbaik yang Mama berikan buat kamu.”

Sekarang Yayasan Sarapan Gratis Aruma berusaha direbut oleh orang-orang tidak bermoral. Tempat yang akan Arum jaga sampai akhir hayat, meski orang-orang tahu dia tidak menyukai nama Aruma.

“Aneh banget tuh anak. Nggak suka banget nama Aruma, kenapa nggak ganti nama ae, sih? Malah kita yang disinisin!”

“Kalian jangan gitu,” lerai Ririn.

Arum mengingat, kalau sebenarnya ada sekilas mata yang ingin cari muka. Itu tak benar-benar murni dilakukan Ririn demi Arum. Seharusnya Arum sudah menyadarinya sejak awal ... Akan tetapi dia masih seorang manusia, yang memiliki kekurangan.

Inilah hasil dari kekurangannya.

“Singkirkan tangan kotor kalian!” seru Arum dengan satu ledakan dan hentakan.

Ada puluhan orang yang mengalihkan pandangan, sementara anak-anak malang yang tidak ingin kelaparan di pagi hari sedang mereka tindas.

“Beraninya kalian ...”

“Hei, siapa kamu? Jangan ikut campur. Perempuan itu pagi-pagi tempatnya di rumah, muasin napsu suami sama bapak mertua!”

Mereka tertawa, dan sebagiannya lagi tidak. Sebagian lagi mengenal Arum dan sebagian lagi tinggal menunggu waktu saja.

“Lho, lo kok takut gitu?”

“Dia pemilik yayasan ini, to-lol!”

Preman yang memandang rendah Arum itu mengangkat satu alisnya. “Dia? Jadi dia yang kata kelen punya dua pengawal tuaampan, terus keekaaar, ituu? Heh!”

Dia celingak-celinguk. “Mana? Mana?”

Arum memutar bola matanya. Oh, Tuhan, apa yang harus aku lakukan dengan preman hamba uang itu?

“Halo, Bu Arum. Kok karyawan saya bilang Ibu udah sampai, tapi malah putar balik. Bu Arum di mana sekarang? Oh ya, Sayang aku, kamu udah makan.”

Arum muntah pura-pura, terus menjawab singkat, “ya.”

“Ya? Apa yang, ya, Sa-yang?” Ardian tidak lagi PD ketika memanggil Arum dengan sebutan “Sayang”, seperti barusan.

“Woi, malah nelpon lu, betina!”

“Ha? Suara siapa itu, Bu Arum? Ibu di mana?” Ardian kini terdengar lebih panik. “Apa jangan-jangan—tunggu di sana, Bu Arum. Saya lacak Ibu sekarang. Maaf kalau lancang, tapi demi ini keselamatan Bu Arum. Teriak-teriak saja sebentar buat mengulur waktu, Bu Arum. Saya akan datang menolong Anda dengan seluruh kekuatan saya!”

“Ya.”

Arum menutup sambungan lalu melangkah pelan ke depan. Sorot mata Arum berubah begitu memandang preman itu. Tentu saja akan aku beri pelajaran yang sepantasnya.

“Ugh!”

Tanpa sempat mengelak, preman yang lebih tinggi dari Arum itu berhasil dibuat tersengal. Arum mencengkeram lehernya dengan sekuat hati.

“Kamu apakan anak ini?” Arum mengedik ke sebelah, dan ujung mata preman yang berubah merah itu melihat ke arah anak yang sedang ketakutan seraya menangis.

“Kamu tahu seperti apa saya saat marah?” tanya Arum, tanpa menunggu pertanyaan pertamanya dijawab.

Bam!

***

Lelaki itu membalikkan badannya, di ruangan Arum dulu. Ruangan yang dulu Arum banggakan. Sebelah tangan Arum menekan meja dan menatap asing, tidak seperti dulu.

“Jangan berani mengusik yayasan saya lagi,” kata Arum, tanpa mengalihkan pandangan. “Saya tidak main-main. Jangan coba bermain api lagi dengan saya.”

Dirga merespon diam. Seperti dia tidak menyangkal bahwa dialah otak untuk merebut paksa yayasan milik Arum.

Dirga masih diam, dan Arum menganggapnya sebagai jawaban. Lantas Arum berbalik, tidak mau membuang waktu untuk berlama-lama di sana. Dia benar-benar jijik dengan lelaki itu.

“Apa susahnya menjawab panggilan sayang dari aku, Arum?”

Arum berhenti lalu berbalik. “Apa?”

“Setiap pagi, siang, malam! Aku selalu manggil kamu dengan sebutan Sayang! Tapi kamu selalu balasnya, Mas, Mas, dan Mas!”

“Apa aku nggak berhak sakit hati? Hah? Sakit hati aku, Arum! Sakit!”

“Aku nggak mempersalahkan soal aku yang jadi beban dalam rumah tangga kita! Juga soal tanah yang dulu adalah impian aku, sebelum kamu beli untuk kamu jadikan yayasan! I’m fine! I’M FINE!”

“Tapi setiap aku manggil kamu Sayang, kamu jawabnya, Mas! Apa aku nggak boleh berpikiran yang bukan-bukan, Arum? Hah? Apa aku nggak boleh? Apa aku nggak boleh terlena dengan godaan yang datang dari Anya dan juga Ririn?”

“Hanya itu yang aku mau, Arum. Hanya itu! Seperti impian mustahil kamu, yang kamu bilang ‘hanya’!”

Arum lupa, selain Edo dan Yan, Dirga juga mengetahui soal impiannya.

“Aku frustasi, depresi dan segala macam, Arum. Kamu tahu alasan aku bisa sampai segi-la ini? Kamu pernah mendengar ucapan Joker musuhnya Batman? Aku bisa selingkuh dan segala macam! Kamu tahu?”

“ITU KARENA KAMU!”

“Hanya karena masalah nama panggilan?” ucap Arum. Mendadak dia teringat dengan omongan Arina saat itu. Jadi Dirga-lah yang dimaksud anaknya tersebut.

Dirga merespon dengan menatap tajam Arum, begitu benci. “Mungkin bagi kamu, itu hanya masalah nama panggilan. Tapi bagi aku itu lebih kompleks dari semua permasalahan yang ada. Permasalahan sepele dan konyol di mata kamu, itu begitu besar di hati aku! Kamu tahu?”

“Aku bilang sama Ibuk, aku udah nggak sanggup! Tapi dia bilang aku harus bertahan demi Arina dan Arini! Kamu tahu? Hah?”

“Nggak hanya kamu yang menderita, Arum ... Nggak hanya kamu ... Sayang.”

Kini, Arum yang merespon diam. Kedua matanya berlinang, yang sekuat tenaga untuk ia tahan agar tidak jatuh.

***

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang