“Nah, Arina dan Arini, selamat belanja! Yeay!” seru Arum pada pagi itu di depan sebuah pasar. Ada juga Amfibi yang kali ini tidak menolak ikut bersama mereka.
Sementara itu mereka tidak jadi ke pantai putih dikarenakan cuaca yang kurang mendukung. Katanya akan ada hujan lokal yang lebat disertai angin kencang dari arah pantai tersebut. Kalau hujan lebat biasanya akan langsung tenggelam dan pantainya tidak kelihatan.
Jadilah Arum dan mereka berempat termasuk Mbak Santriyah pergi ke pasar pagi, yang letaknya di pinggir jalan raya tempat masuk desa Pelita Ayu. Cuaca di sini cerah berbeda dengan langit yang ada di Pelita Ayu. Arum melihat ke langit dan tampak awan hitam di ujung sana, memang menandakan adanya hujan lokal.
“Katanya di sini ada boneka yang nggak ada di kota, lho, Arini. Boneka antik.”
Arini cemberut. “Mama kan tahu kalau aku nggak suka boneka, ish!”
Arum tertawa. “Oh ya! Kayaknya Mama lupa, deh!” Arina terlihat ingin tertawa begitu mendengar omongan Arum.
“Tapi serius, lho, di pasar ini banyak barang-barang bagus! Iya, kan, Amfibi?” lanjut Arum.
Amfibi mengangguk tersenyum ceria seperti biasa. Arum senang melihat dia tetap ceria meskipun saat makan malam kemarin Amfibi diperlakukan tidak enak oleh penjual pecel lele. Arum nyaris kehilangan kesabaran kalau Amfibi tidak bilang baik-baik saja.
Arum dan Mbak Santriyah akhirnya jalan berbarengan, sementara kedua anaknya dan Amfibi tampak sedang menawar barang dagangan. Arum menoleh lalu senyum-senyum sendiri.
“Dasar mereka itu, ya,” kata Arum, disambut gelak tawa Mbak Santriyah. Arum juga tertawa, sampai Mbak Santriyah dibuat kaget.
“Kenapa, lho, Mbak?”
“He, he, nggak, Bu. Cuma beda aja Ibu hari ini sama yang saya lihat dari tahun ke tahun.”
“Lho, beda gimana?”
Arum tertawa mengerti. Arum mengakui kalau sikapnya hari ini dibuat berbeda dari yang biasa. Sama seperti sikapnya dulu kalau barengan dengan Ririn sebagai sahabat. Meski sekarang Mbak Santriyah bukan sahabat atau yang spesial di hatinya, dia lebih memilih menjadi Arum yang riang gembira.
Arum hanya berpikir kehadiran Amfibi mendadak seperti sihir yang bisa mengubahnya saat ini. Terlebih kalau Arum bukan lagi seorang direktur yang dia pikir mesti berekspresi kaku, jelek dan menyeramkan.
Arum harus menambah lebih banyak energi positif. Itulah sihir yang dia rasakan dari Amfibi. Seseorang mungkin akan diterpa banyak cobaan, tapi sebuah senyuman mampu mengurangi luka.
“Kita beli sate, yuk, Mbak?” ajak Arum. “Nggak tahu kenapa kalau cium aroma sate apalagi di pagi yang sejuk kek gini, jadi ngiler saya.”
Mbak Santriyah pun menerima ajakan Arum dengan canggung. Dia terlihat masih tidak menyangka dengan sikap cair Arum yang begini. Mereka pun masuk ke bilik tempat orang jualan sate khas Padang.
Mereka mulai makan dengan wajah gembira seperti dua anak bocil yang diberi makanan paling favorit mereka. Ternyata Mbak Santriyah juga sangat menyukai makanan sate tersebut. Kata dia, sudah jatuh cinta sejak masih SD. Padahal Mbak Santriyah sempat takut karena warna kuah sate yang tidak disukainya.
Puas dengan sate, mereka keluar dan mencari kedua anak Arum serta Amfibi. Tak perlu waktu lama Arum pun menemukan mereka. Ternyata masih di lapak yang tadi, masih sibuk menawar.
“Hadeh,” kata Arum. Mbak Santriyah tertawa seraya menutup mulut.
“Wah, wah! Siapa yang kita lihat ini, Sayang?”
Mendadak pandangan Arum teralihkan begitu mendengar suara dari arah samping. Arum mengenal suara itu. Sementara Arina dan Arini dibuat berhenti dari aktivitas tawar menawar mereka. Sementara Amfibi mengernyit kebingungan.
“M-Mas Dirga?” “Pa-pa?”
***
Tiba-tiba saja Mas Dirga dan si pelakor sudah ada di sini, padahal belum lama mereka melangsungkan pernikahan di kota. Bahkan sempat diberitakan oleh media gosip. Karena si pelakor rupanya berprofesi sebagai model.
“Oh ya?” respon Arum.
Mas Dirga awalnya tampak jumawa, tapi malah jadi kesal sendiri. “Apa-apaan respon kamu itu, Arum? Ngeledek aku, kamu?”
“Ngeledek gimana? Perasaan kamu aja kali, Mas.”
Ternyata Mas Dirga dan si pelakor jauh-jauh datang ke sini hanya untuk memberitahu kalau HN mendapatkan rekor laba tertinggi pada tahun ini. Mas Dirga mau memanas-manasi Arum, tapi dia salah besar.
Aku ini Arum, Mas. Kata teman-temanku dulu, aku bisa membuat kejutan.
Dengan melihat kecongkakan Mas Dirga sekarang, Arum yakin dia berbohong soal Ibuk yang sakit. Mas Dirga ingin membuat Arum terpojok dan merasa bersalah.
“Nih, Ibuk mau ngomong sama kamu,” kata Mas Dirga. Dia mendadak menelepon Ibuk, entah apa maksudnya.
“Halo, Buk.”
Tak ada suara di ujung sana. Beberapa detik, barulah Arum dapat mendengar suara Ibuk. “Ibuk pengennya kalian tetap barengan. Sekarang Dirga benar-benar sukses, tapi kamu malah sudah bukan menjadi istrinya lagi.”
Arum dapat mendengar omongan Ibuk dengan jelas. Bahkan terdengar sehat dan lebih lagi seperti Ibuk sedang memanas-manasi, kalau Arum seharusnya menyesal.
Begini sifat asli kalian? Arum tak dapat menggambarkan perasaannya saat itu.
“Ya,” kata Arum, lalu menutup telepon begitu saja. Mas Dirga langsung bereaksi marah dan si pelakor langsung menenangkan.
“Sayang, kamu jangan kepancing,” kata si pelakor. “Dia itu sebenernya cuma akting, aslinya iri dan dengki denger pencapaian kamu.”
“Woi, woi!” Tiba-tiba Arini masuk ke pembicaraan mereka di ruang tamu. “Hati-hati ente kalau bicara! Nggak ada sejarahnya Mama iri apalagi irinya sama cewek modelan kek elu! P-e-l-a-k-o-r!”
“Arini!”
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi Arini. Arum tidak sempat mencegah karena begitu mendadak. Dia tak dapat memercayainya.
“Apa-apaan kamu?” Arum sangat marah dengan suara pelan. Seumur hidup dia belum pernah menampar anaknya sendiri. Begitu juga dengan Mas Dirga, Arum baru pertama kali melihatnya tega menampar Arini, anak kesayangannya.
Arina, Amfibi dan Mbak Santriyah ikut muncul ke ruang tamu. Mbak Santriyah bergerak untuk menenangkan Arum. Sementara Arum sebentar melihat Arini menangis terisak.
“Begini, nih, kalau kamu nggak ada aku. Nggak bisa didik anak!”
“Diam kamu, Dirga!”
Kedua mata Arum memerah, dengan suara menggelegar.
***
Liburan berakhir lebih cepat. Arini tidak seceria seperti hari-hari sebelumnya, membuat Arum begitu khawatir. Arum pun memutuskan untuk kembali ke kota.
“Kamu bisa jaga rumah saya, Amfibi?” tanya Arum.
“Siap, Bu Arum!”
“Bagus. Saya udah ngomong sama Bu Santriyah, kalau kamu mau makan nggak perlu sungkan untuk minta.”
“Terima kasih, Bu Arum!”
Arum tersenyum kemudian mengelus sayang anak itu.
“Kak Arini! Tetap semangat dan tetaplah tersenyum!” seru Amfibi saat mobil Arum mulai merangsek maju. Arini menoleh sebentar dan bilang, “ya, anak bawel.”
Arum tak tahu Amfibi dapat mendengarnya atau tidak. Sementara Arum melihat Arini sedikit tersenyum lewat kaca dalam mobil. Arum tahu Arini masih terluka dengan apa yang Dirga lakukan padanya.
Arum pun sama ditambah dengan kebencian yang mendalam. Mulai detik ini, Arum tak pernah sudi memanggil mereka dengan sebutan “ibuk” dan “mas” lagi.
Dirga ba-jingan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END)
Ficção GeralArum atau Aruma berpikir telah bahagia dengan keluarga yang dia miliki. Tapi ternyata tidak, saat suaminya kedapatan bersama orang tak dikenal seusai mereka melakukan foto keluarga. Arum dihantui rasa curiga, karena mencium bau parfum wanita dari tu...