24. Melepaskan Beban

115 7 0
                                    

“Yeay!” Kedua anak Arum berteriak senang, dan terlihat begitu bersemangat.

Arum tersenyum. Ini adalah waktunya me time dengan Arina dan Arini, di tempat yang indah. Kampungnya memang terletak di pelosok seperti kata Mas Dirga, tapi tidak banyak yang tahu kalau Pelita Ayu mempunyai spot luar biasa indahnya. Setelah melalui jalanan terjal di hutan dengan bantuan mobil beroda besar atau Jeep, akan dapat terlihat sebuah danau berair bening dengan kesejukan yang tiada tara.

Sementara tidak jauh dari danau tersebut, terdapat air terjun yang lumayan tinggi. Tapi Arum melarang kedua anaknya untuk ke sana, meski mereka ngotot. Pemandu sekaligus supir mereka juga memperingatkan kalau air terjun di sana hanya akan mengundang bahaya. Terlihat tenang dengan air yang terjun secara perlahan, namun sebenarnya mematikan. Pernah ada kasus orang tenggelam di sana, dan anehnya mayatnya tidak berhasil ditemukan.

Entah itu benar atau tidak. Akan tetapi Arum memang merasa kalau air terjun di sana itu bahaya. Apalagi yang namanya ada di kawasan hutan tidak boleh sembarangan. Terlepas kasusnya, omongan pemandu mereka yang juga seorang perempuan, tidak boleh disepelekan.

“Udah, kita di sini aja. Piknik terus foto-foto. Kan kalian sukanya gitu, ya, kan?”

Arina dan Arini sebentar saja cemberutnya, sampai dibuat larut dengan kehebohan di sana-sini. Mereka berperahu dan mulai berpose segala macam, yang teramat narsis bin lebay.

Arum ikut sesi foto dengan mereka saat mandi menggunakan pakaian polos. Pemandu mereka, Mbak Santriyah, diajak Arina untuk ikut berfoto juga. Dia menolak dengan halus, tapi bukan Arina namanya kalau urusan foto tidak mengajak orang sampai berhasil. Biasanya kalem tapi bisa berubah menjadi alay.

Dalam waktu singkat Mbak Santriyah ikut larut dalam kenarsisan mereka. Di pinggir danau Arum tertawa melihat keasyikan mereka. Entah kenapa setiap melihat hobi Arina dan Arini soal foto-foto, Arum jadi kepengen punya foto keluarga dan ...

“Oh, geez,” gumam Arum jengkel sendiri.  Ingatan Arum begitu cepat kembali ke tempat saat mengajak Mas Dirga dan kedua anaknya. Tempat wahana yang mengasyikkan penuh canda dan tawa.

Dulu saat bersama mereka, Arum memang punya angan bisa bermain di sebuah wahana. Arum hanya mendengar tapi rasanya sudah mengasyikkan. Pastilah kalau suatu saat angannya terwujud, rasanya jauh lebih mengasyikkan.

Kemudian angan Arum itu berkembang setelah melihat hobi Arina dan Arini. Arum langsung kepikiran, bagaimana kalau aku buat foto keluarga aja dengan tema ala Disney, terus dipajang? Pasti bagus banget!

Arum yang tidak pernah suka difoto mendadak antusias, hingga menunggu beberapa tahun agar niat itu dapat terealisasikan. Sampai ketika hari H pun tiba dan cekrek, Arum berpikir telah bahagia, tapi ...

Parfum dari wanita yang ternyata selingkuhan Mas Dirga itu merusak segalanya. Arum seketika berubah menjadi bad mood. Sekuat hati agar bisa mengendalikan diri, dan sekuat pikiran untuk membuang prasangka buruk terhadap Mas Dirga. Tapi sayangnya dia tidak bisa.

Arum membuang napas kasar karena harus kembali pada ingatan buruk tersebut, ingatan perselingkuhan, dan ingatan saat dipecat mendadak dikarenakan seorang selingkuhan yang dia akui sangatlah cantik. Tapi tetap saja seorang ja-lang.

Selagi Arum memandang ke arah langit meminta ketenangan, tiba-tiba terdengar nada dering dari HP-nya. Arum melirik tas lalu mengambil dan membukanya. Arum heran, ternyata masih terdapat sinyal di balik hutan ini—desa Pelita Ayu ada di dataran tinggi.

Sebuah benda mungil tak sengaja terjatuh saat Arum mengambil HP itu. Arum menghela napas, ternyata itu flashdisc yang sudah diisi foto-foto oleh Edo. Foto keluarga kecil mereka saat di wahana yang Arum impikan itu.

“Itu flashdisc siapa, Ma?” tanya Arini, menghampiri dengan muka puas habis foto-foto. Badannya basah kuyup namun terlihat segar, sementara handuk melingkar di lehernya.

“Kasih tau nggak, ya?” goda Arum.

“Ish!”

Arum sontak tertawa melihat Arini begitu. Memang mudah sekali digoda agar dibuat cemberut atau sebal. Arum selalu menyukainya.

Tak apa aku kehilangan Mas Dirga. Masih ada kamu sama Arina, Sayang.

Beberapa saat, Arum berdiri dan bergerak dengan lepas tanpa beban, membuang jauh benda terkutuk itu. Hingga jatuh ke dasar danau.

Arum tersenyum lebar ala direktur yang puas dengan kinerja bawahannya, sementara dia melihat Arina dan Arini kompak melongo.

***

Sebelum matahari tenggelam, mereka sudah keluar dari hutan. Hari itu mereka puas sekali, dan rencananya besok akan mencoba trip ke tempat lain. Di Pelita Ayu Arum dengar ada pantai dengan pasir putih di seberang sungai. Cukup jauh masuk ke dalam.

“Siap, Bu Direktur,” kata Mbak Santriyah mengacungkan jempol. Besok saya antar ke sana dengan kepompong.

“Yeay!” Arina dan Arini senang mendengarnya.

Tak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah. Di sana ada Amfibi yang langsung berdiri tegak dan memberi hormat. Dia memang disuruh Arum untuk menjaga rumah, yang sedari awal tidak perlu dijaga. Di Pelita Ayu, tidak kenal dengan yang namanya maling. Pintu rumah terbuka saja, paling jauh yang masuk cuma ayam.

“Biasa aja, Amfibi,” kata Arini, menjewer telinga Amfibi. “Gimana rumah, aman?”

“Woish! Aman, Kak Arini! Sepanjang waktu, tidak ada satupun yang aku perbolehkan masuk! Tikus, ayam, bebek, bahkan ulat bulu sekalipun! Saya libas!”

“Bagus, bagus,” kata Arum, sementara Arini memutar bola matanya.

Mereka pun masuk tanpa lupa mengajak Amfibi. Sementara waktu sudah menunjukkan angka setengah tujuh. Mereka bertiga mandi, masing-masing, di kamar mandi yang cuma satu. Setelah selesai Arum tak lupa salat di kamar.

“Kamu udah mandi, Amfibi?” tanya Arum begitu keluar kamar dan melihat anak itu di ruang tengah, menonton TV yang layarnya setengah semut.

“Sudah, Nyo—“

“Panggil saya Bu Arum aja, ya?” potong Arum.

“B-baik, B-Bu Arum—sudah, saya sudah mandi di sumur belakang, Bu Arum!”

“Bagus,” kata Arum, tersenyum. “Besoklah, saya beli TV baru, biar kamu enak nontonnya. Kami bertiga nggak ada yang suka nonton TV, jadi nggak saya beli pas renov rumah ini agar lebih luas.”

“N-nggak perlu, Bu Arum. Begini saja saya sudah puas—ha, ha, itu bintang merah jambunya lucu, Bu Arum! Lebih bo-doh dari saya!”

Arum tertawa tanpa bersuara, sementara dia duduk sambil memperhatikan Amfibi. Sukses kamu besok, ya, Amfibi ...

“Mama, kita makan malamnya apa, nih?” tanya Arini, saat muncul menghampiri.

“Makan pecel lele aja yuk?” ajak Arina, berjalan dari belakang.

“Hm, boleh,” kata Arum.

“Kamu mau ikut, Amfibi? Kali ini nggak nolak lagi, ya?” Arum beralih melihat ke arah Amfibi.

“Kalau soal makan, saya mau, Bu Arum!”

“Huu, dasar!” ledek Arini.

Sebenarnya tadi Arum sudah mengajak Amfibi untuk ikut ke danau, tapi dia menolak karena takut menganggu. Jadi Arum suruh saja Amfibi menjaga rumah, sementara anak-anak sudah diberitahu Arum untuk tidak mengganggu anak malang itu dengan imbalan es lilin jumbo.

“Siap, Bu Direktur!”

Mereka cuma anak-anak. Suatu saat nanti Arum yakin mereka akan saling berteman juga, selama tidak seperti yang berseliweran saat ini. Tidak sejahat yang Arum lihat. Sama seperti Arum dulu, yang awalnya suka diganggu, tapi akhirnya saling berbagi cerita di pagi yang dingin namun terasa cerah.

***

 

Aruma : Ketika Dipecat Karena Selingkuhan Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang