Berpisahnya ayah dan mama adalah patah hati pertama Jayuta Prima Putra. Kisah broken home yang biasanya hanya Yuta baca di novel dan Yuta dengar di berita ternyata terjadi pada kisahnya sendiri. Sebuah kejutan besar saat ayah mengatakan pada mama bahwa dirinya akan memisahkan diri dan hidup bersama keluarga baru yang diam-diam diharmonisasikan. Ayah lebih memilih rumah barunya dan meninggalkan rumah lama yang menjadi saksi perjalanan hidupnya. Sangat amat disayangkan. Namun Yuta tidak bisa berbuat apa-apa. Takdir telah menetapkan bahwa keluarga mereka hanya harmonis sementara, sisanya mereka harus patah dan kembali berjuang.
Kini, di rumah ini tersisa Yuta dan mama. Sayang sekali Yuta tak punya saudara. Dia anak tunggal yang ditinggal ayah. Sampai kapanpun, Yuta akan terus mengaitkan segala hal yang terjadi di hidupnya dengan sang ayah yang memilih pergi. Apapun yang Yuta alami, penyebabnya adalah karena ditinggal oleh ayah.
Jika ditanya apakah Yuta benci ayah, dia jelas menyerukan 'tidak' dengan lantang. Yuta sedikit paham kenapa ayah meninggalkan mama. Ada banyak kemungkinan yang harus Yuta terima meski nyatanya menyakiti dirinya. Fakta bahwa mama adalah istri kedua menjadi salah satu hal yang paling menyakitkan. Ternyata selama ini, mereka bukan pemeran utama dalam hidup ayah. Rupanya mereka hanya pemeran pembantu dikala ayah merasa bosan dengan tokoh utama.
Yuta tidak bisa percaya bahwa ayah sejahat itu pada mereka.
"Hari ini pulang jam berapa, Yut? Mau bawa bekal nggak?"
Yuta menoleh, menatap ke arah dapur. Dari tempatnya berdiri, Yuta melihat mama sibuk menata sarapan di meja makan. Lantas dia melangkah mendekat, berdiri di sebelah mama yang ternyata sedang mengoles slai di roti.
"Agak sorean, mungkin. Rencananya mau bikin tugas dulu. Deadline besok soalnya," jawab Yuta sembari meraih satu buah roti tawar.
"Mama juga pulang agak malam kayaknya, Yut. Kerjaan mama harus selesai hari ini juga," tanggap mama.
Yuta tersenyum singkat. Terkadang Yuta merasa kasihan pada mama. Wanita itu harus bekerja agar kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Ayah bukannya tak lagi menjalankan kewajibannya sejak pergi. Dia tetap mengirim uang untuk Yuta dan mama. Katanya dia akan terus melakukannya hingga dia mati sebagai bentuk penebusan atas rasa sakit yang dia tinggalkan. Namun mama tak pernah mau menggunakan uang pemberian ayah. Mama ingin Yuta hidup atas hasil dari jerih payahnya sendiri.
"Jangan terlalu maksain diri, ma. Nanti sakit." Yuta mengusap bahu mama. "Kalau udah nggak sanggup, mama bisa berhenti."
"Mama nggak mungkin berhenti, Yuta. Kamu masih harus hidup dengan baik dan mendapat pendidikan dengan layak." Mama membawa tangan Yuta yang berada di bahunya untuk digenggam. "Mama nggak akan berhenti sebelum hidup kamu sempurna."
Yuta terkekeh mendengarnya. "Nggak ada yang sempurna, ma. Kalaupun ada, hidup sama mama adalah hidup paling sempurna yang Yuta miliki."
Ucapan Yuta membuat mama tertawa. Terdengar menggelikan di telinganya. Lalu dengan begitu saja mama memukul bahu Yuta. Antara terharu dan senang. "Udah, nggak usah dibahas. Mending kamu berangkat sekarang. Nanti telat."
Yuta ikut tertawa. "Jadi dibawain bekal?"
"Kamu mau apa?"
"Roti aja, dua potong," jawabnya.
Mama tersenyum. "Tunggu sebentar ya. Mama siapin. Kamu sarapan aja dulu."
Yuta mengangguk. Dia meraih satu roti tawar lagi, lalu dibawa meninggalkan ruang makan. Yuta berjalan menuju teras, lalu berakhir dengan berdiri di depan pagar yang hanya setinggi dadanya. Dari sana, Yuta menatap seorang gadis yang keluar dari pagar rumah seberang. Gadis itu adalah tetangganya. Dan juga mantan kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuta dan patah hatinya
Teen FictionTidak ada yang tersisa setelah patah hati pertamanya. Seharusnya begitu. Seharusnya semuanya habis ketika ayah memilih meninggalkan Yuta dan mama. Seharusnya cinta Yuta pada Sesilia habis di tahun ketika gadis itu memilih mengakhiri hubungan mereka...