***
"Kapan pulang sih, ma? Katanya cuma satu minggu. Tapi ini udah hampir dua bulan. Ngapain sih mama di sana?" Yuta bertanya kesal pada mama. Pagi ini Yuta ada simulasi ujian akhir dan teringat dengan mama yang tak menelpon dan tak kunjung pulang. Bahkan selama beberapa minggu terakhir, mama tidak menelpon jika bukan Yuta yang menelpon duluan. Entah apa masalahnya, mama seperti sedang menghindar dari Yuta. Dia mulai mencurigai satu hal kenapa mama tidak kembali.
Terdengar helaan napas dari seberang. "Maafin mama, Yuta."
Yuta mulai jengkel dengan kata maaf yang orang-orang itu ucapkan. Yuta kenyang oleh kata maaf yang mana tak ada gunanya. Maaf hanya sekedar maaf. Tidak ada penyesalan di sana dan esoknya kembali melakukan hal yang sama untuk mengulang kata maaf itu diucapkan. Yuta muak dengan mereka yang hanya bisa meminta maaf. Manusia memang penuh khilaf dan salah, tapi ini terlalu berlebihan. Mereka hampir setiap hari khilaf dan salah.
"Yuta nggak butuh ucapan maaf. Yuta mau mama pulang. Mama nggak kasian sama, Yuta? Yuta sendirian di sini, ma."
"Mama nggak bisa pulang."
Dahi Yuta mengerut. "Kenapa?"
"Maaf.."
"Ma!" Yuta benar-benar kesal. "Kenapa nggak bisa pulang? Kerjaan mama belum selesai? Mama naik jabatan di sana? Atau mama bangun rumah biar kita pindah ke sana?"
Lalu dengan begitu saja Yuta mendengar suara tangis dari seberang. Kepalanya semakin pusing. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mama tiba-tiba menangis? Yuta tidak bisa tenang jika mama tidak berkata terus terang.
"Ma.."
"Jangan tunggu mama, Yuta. Mama nggak akan pulang. Maafin mama. Tapi di sini mama sudah punya keluarga baru."
Seluruh sendi Yuta melemas, lalu ponsel di genggamannya jatuh beradu dengan lantai. Kondisinya hancur, sama seperti Yuta kala mendengar ucapan mama beberapa detik yang lalu. Rasanya Yuta benar-benar dibunuh tapi tak kunjung mati. Rasa sakitnya tak kunjung habis, justru semakin bertambah.
Yuta memegangi dadanya. Jantungnya berdetak cepat dan sakit. Ini bukan lagi seperti dijatuhi batu besar. Rasanya sudah seperti ditusuk berkali-kali tapi tak kunjung diberikan kesempatan untuk mati. Tubuh Yuta merosot, jatuh terpaku pada bumi. Dia menunduk, menatap lantai putih yang perlahan ditetesi air mata. Kenapa rasanya sakit sekali? Dada Yuta sakit, hati Yuta sakit, kepala Yuta sakit, semuanya sakit. Nyawa Yuta seperti akan dicabut saat itu juga.
Kenapa Yuta tidak benar-benar melebur saja agar dia berhenti merasa sakit? Kenapa Yuta tidak dibunuh saja jika mereka ingin hidup dengan dunia mereka sendiri? Kenapa Yuta tetap dibiarkan hidup setelah dicampakkan karena dianggap tidak berarti? Satu-satunya manusia yang Yuta percaya kini turut memberikan luka. Mama bergabung bersama ayah dan Sesilia. Mama mengkhianati Yuta.
Lantas, bagaimana sekarang? Satu-satunya tempat pulang Yuta menutup pintunya rapat-rapat. Yuta kehilangan tempat pulang, kehilangan rumah. Mama meninggalkan Yuta sendirian di sini.
Yuta meremas kuat dadanya. Lalu memukul-mukul dadanya berharap rasa sakit itu hilang. Tangisnya masih ada, terdengar semakin pilu. Yuta tidak tau kapan terakhir kali dia meredam suara tangisnya agar tidak didengar siapapun. Yang jelas, menangis dalam diam adalah hal yang paling menyakitkan.
Yuta menggigit bibirnya kuat-kuat. Tidak ada yang boleh tau bahwa pagi ini Yuta bersedih. Tidak ada yang boleh tau bagaimana mama menghancurkan Yuta. Yuta tidak ingin dikasihi lagi. Yuta tidak ingin hidup dibawah tatapan iba dari orang-orang yang menyakitinya.
Dengan sisa-sisa tenaga, Yuta berusaha bangkit. Yuta akan membuktikan pada mereka bahwa Yuta tidak selemah itu. Yuta bisa berhasil meski tanpa mereka. Yuta akan membuktikan bahwa dia bisa hidup dengan baik tanpa ayah dan mama. Saat ini Yuta bertekad untuk membalas mereka dengan sebuah keberhasilan. Yuta berjanji, dia tidak akan mati sebelum berhasil membuat mereka bertekuk lutut atas kejahatan yang telah mereka perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuta dan patah hatinya
Teen FictionTidak ada yang tersisa setelah patah hati pertamanya. Seharusnya begitu. Seharusnya semuanya habis ketika ayah memilih meninggalkan Yuta dan mama. Seharusnya cinta Yuta pada Sesilia habis di tahun ketika gadis itu memilih mengakhiri hubungan mereka...