***
Ayah dan Sesilia benar-benar menghilang tanpa jejak. Yuta tak ditinggalkan barang sebaris kalimat mengenai alasan mereka pergi. Ponsel Sesilia tidak dapat dihubungi. Sedangkan ayah, panggilan dan pesan Yuta diabaikan begitu saja. Mereka benar-benar seperti ditelan bumi. Kepergian mereka secara tiba-tiba ini seperti telah direncanakan. Selaras dengan kalimat yang ayah ucapkan di pertemuan terakhir mereka.
Bahkan, ayahnya juga tidak ada kabar. Rumahnya tampak sepi kala Yuta kunjungi. Dari kabar yang beredar, ayah telah pergi bersama keluarganya. Membawa serta merta rasa malu atas perbuatan putra yang disanjung-sanjungnya. Putra yang dia nomor satukan.
Yuta tidak bisa menyebut ini sebagai kabar bahagia. Kalau saja Sesilia tidak terlibat dalam kehancuran itu, mungkin Yuta akan tertawa lebar di depan wajah ayah. Dia akan menyebut ini sebagai karma atas perilaku pria itu kepada Yuta dan mama. Namun karena Sesilia juga terlibat, kejadian ini bukan lagi hal yang Yuta syukuri. Dia turut dilukai.
Berbagai usaha Yuta lalukan untuk bertemu dengan Sesilia. Sebut saja dia gila, tapi semenjak kepergian gadis itu Yuta membawa poster wajahnya untuk ditanyakan pada setiap orang yang dia temui. Yuta sedang kehilangan seseorang. Bahkan tanpa perlu pikir panjang, Yuta menempel poster tersebut di setiap sudut tembok dan tempat yang berkemungkinan dilihat oleh orang lain. Mungkin usaha ini akan berakhir sia-sia, tapi siapa tau Sesilia dan ayah menemukan poster ini.
Yuta tidak butuh rasa bersalah mereka karena pergi begitu saja. Yuta hanya butuh tau bagaimana kondisi mereka. Yuta tidak akan mendesak ayah dan Sesilia untuk bercerita. Toh tidak ada untungnya juga bagi Yuta. Yang terpenting saat ini, Yuta ingin memastikan mereka baik-baik saja. Mama membenci ayah karena ayah salah satu penyebab keluarganya hancur. Tapi bagi Yuta, ayah dan Sesilia adalah bagian dari keluarganya. Jika mama tau mengenai berita ini, mungkin dia akan tertawa senang. Tapi Yuta tidak bisa melakukannya.
"Udahlah, Tuy. Mereka bakal kembali kalau mereka udah siap ketemu lo," ujar Raka mengusap bahu Yuta. Hari ini adalah hari pertama mereka ujian akhir. Dan dia cukup prihatin dengan Yuta yang terus meratapi bangku kosong yang tak akan ditempati pemiliknya.
"Ingat sama mimpi dan cita-cita lo, Tuy. Lo boleh khawatir sama mereka, tapi lo juga perlu khawatir sama diri lo sendiri," kata Dani pula.
"Disaat mereka kembali, lo udah harus sukses, Tuy." Liko turut menimpali.
Yuta mengangkat kepalanya. Matanya memejam sesaat. Menarik napas, lalu menghembuskannya secara kasar. "Semua yang gue kejar selalu hilang. Semua yang gue harapkan untuk berjalan dengan baik selalu gagal. Kenapa ya? Kenapa gue nggak perah dikasih senang? Apa gue nggak pantas untuk bahagia?"
Raka menghela napas panjang. Anak itu lagi-lagi mengeluh. "Semuanya butuh proses, Tuy. Nggak ada yang namanya langsung senang dan bahagia. Kita harus susah dulu, sakit dulu atau mungkin mati dulu untuk dapat bahagia. Sekarang lo benar-benar dihajar sampai patah berkali-kali, tapi mana tau di masa depan, lo akan menjadi orang paling bahagia, Tuy."
Dani menyambung dengan anggukkan kepala. Dia menepuk-nepuk bahu Yuta. "Ibarat kata pepatah, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Lebih baik sakit dulu baru senang dari pada senang dulu baru sakit."
"Semangat dong, Tuy. Katanya mau jadi orang hebat," ujar Liko.
Yuta memberikan senyum tipis. Salah satu hal yang patut Yuta syukuri ialah fakta bahwa di bumi ini dia tidak benar-benar sendirian. Masih ada tiga konco yang menemani dan menyemangatinya. Raka, Dani dan Liko adalah anugerah terindah yang Tuhan kirimkan untuk Yuta. Dia tidak tau akan bagaimana nasibnya jika tidak punya teman seperti mereka.
"Thank's bro. Terima kasih udah mau jadi sahabat gue," ujar Yuta.
"Apaan sih, lebay amat lo," cerca Raka menyentil pelan dahi Yuta.
"Kita harus sukses, Tuy. Seperti mimpi kita waktu tidur. Minimal salah satu dari kita sukses," sambung Dani.
"Kita semua bakal sukses," tegas Yuta. Mereka susah bersama-sama dan suksespun harus bersama-sama.
***
Ujian di sekolah berjalan dengan baik. Hanya hidup Yuta yang berjalan buruk, tak tentu arah. Suasana rumah semakin sunyi. Tidak ada lagi gadis yang membersihkan halaman di pagi hari. Tidak ada lagi pria paruh baya yang muncul dari balik pagar dengan pakaian rapi. Semuanya hilang dalam sekejap. Kini, Yuta benar-benar telah hidup sendirian.
Lampu kamar Yuta nyalakan. Tatapannya tertuju pada kamar gelap di seberang sana. Mendadak Yuta merindukan Sesilia. Mereka baru berbaikan, baru memulai kisah dengan ikatan baru. Namun waktu merenggut semuanya begitu cepat. Andai saja Sesilia dan ayah berterus terang, mungkin mereka tidak perlu meninggalkan rumah. Yuta sedih mengingat kenangan yang tersimpan apik di setiap rumah sederhana itu.
Kisah mereka banyak terukir di sana. Ketika usia masih belia, masih menjadi anak kecil yang tau dengan senang dan bahagia saja. Lalu beranjak remaja, mulai mengenal cinta dan rasa sakit. Baru kemarin mereka berlari-lari di halaman penuh rumput itu. Baru kemarin mereka menghabiskan waktu, makan rujak bersama dibawah rindangnya pohon mangga. Baru kemarin rasanya mereka bersenang-senang. Yuta tidak rela Sesilia pergi. Yuta tidak bisa menerima kepergian ayah dan Sesilia.
Tanpa sadar, Yuta meneteskan air mata. Yuta suka sendirian, tapi tidak dengan kesepian. Semenjak mama sibuk dan jarang pulang, rumah Sesilia menjadi rumah kedua bagi Yuta. Rumah sederhana itu menjadi tempat pulang yang paling sering Yuta kunjungi. Kalau bisa, Yuta akan tinggal di sana selamanya. Kalau bisa, Yuta ingin menjadi anak ayah saja.
Lantas sekarang, kemana Yuta akan pulang jika pundaknya kembali berat? Pada siapa Yuta akan bercerita perihal hari-hari suram yang dia jalani? Siapa yang akan memeluk Yuta jika rasa sakitnya kambuh lagi? Yuta kehilangan. Yuta kehilangan rumahnya.
Laki-laki itu menyembunyikan kepalanya dalam lipatan tangan. Sesak kembali membawanya pada rasa sakit yang luar biasa. Yuta yang dibuang ke laut, terdampar di sebuah kapal, lalu kembali terombang-ambing kala kapal tersebut menabrak karang, kini berusaha berenang agar tidak tenggelam. Yuta tidak bisa berenang. Yuta tidak tau bagaimana caranya agar tidak tenggelam. Tapi Yuta harus sampai di daratan agar bisa bertemu dengan mereka yang telah hilang.
Jauh di lubuk hatinya, Yuta berdo'a agar orang-orang yang telah meninggalkannya hidup dengan bahagia. Biarlah Yuta yang merasakan sakitnya, mereka jangan.
Meski menyakitkan, Yuta tetap menaruh harap agar mereka kembali.
Mama, ayah, Sesilia dan ayah sesilia.
Yuta ingin mereka kembali.
***
H-1 to ending
See you:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuta dan patah hatinya
Novela JuvenilTidak ada yang tersisa setelah patah hati pertamanya. Seharusnya begitu. Seharusnya semuanya habis ketika ayah memilih meninggalkan Yuta dan mama. Seharusnya cinta Yuta pada Sesilia habis di tahun ketika gadis itu memilih mengakhiri hubungan mereka...