15. Jayuta Smart Putra

8 7 0
                                    

***






Beberapa hari terakhir Yuta mulai giat belajar. Disaat teman-temannya memilih tidur ketika mendapat jam kosong, Yuta justru menuntaskan soal-soal di buku paket yang sudah lama menganggur. Dia benar-benar memanfaatkan waktu luangnya dengan baik.

Perubahan Yuta yang cukup signifikan membuat ketiga temannya menganggap laki-laki itu sedang kerasukan. Yuta yang mereka kenal tidak pernah ambis. Benar-benar fenomenal. Yuta yang dulunya selalu berada di belakang Sesilia kita hampir berdiri di sebelah gadis itu. Di setiap mata pelajaran, Yuta dan Sesilia saling mengangkat tangan. Berebut untuk bertanya atau menjawab.

Dani, Raka dan Liko seperti bukan melihat Jayuta Prima Putra. Mungkin nama Yuta berubah menjadi, Jayuta Smart Putra.

"Tuy, gue merasa nggak berguna ngeliat lo nyelesein tuh angka-angka nggak jelas," ujar Dani memegangi kepalanya yang pusing. Yuta yang sibuk berhitung, Dani yang diserang pusing.

Yuta terkekeh pelan sembari terus menulis angka di buku tersebut. Yuta mulai menyukai pelajaran matematika karena berhasil menyelesaikan beberapa soal. Bukan hanya matematika, mata pelajaran sejarah juga menjadi pelajaran selanjutnya yang Yuta sukai. Semuanya mendadak menyenangkan untuk dipelajari.

"Lo semangat bener sih, Tuy." Giliran Raka yang mengeluh.

"Gue kan punya mimpi, Rak. Makanya harus semangat," jawab Yuta memainkan pulpen di tangannya. Mata tajam yang biasa menatap penuh harap pada Sesilia itu kini lebih berbinar kala berhasil menemukan jawaban dari soal yang sedang berusaha dia selesaikan.

Sesilia bukan lagi menjadi bagian favorit dalam hidup Yuta. Raka taksir, Yuta mulai jatuh cinta pada matematika.

Liko menghela napas panjang. Suasana kelas begitu membosankan. Mereka lebih banyak belajar mandiri ketimbang ditemani oleh guru. Liko lebih suka ada bu guru di depan. Meski tak mendengarkan apa yang disampaikan, setidaknya kelas tidak sesunyi ini. Benar-benar senyap. Semua sibuk dengan buku masing-masing. Paling hanya beberapa yang tidur. Dan beberapa lagi izin ke toilet dan tak kunjung kembali. Liko ingin melakukan salah satu dari kegiatan tidak baik itu, tapi ketiga temannya tidak bisa diajak meninggalkan kelas. Katanya mereka malas bolos. Padahal di kelas kerjaannya hanya mengeluh dan menguap tidak jelas.

"Ini beneran nggak ada yang mau ke kantin?" tanya Liko sekali lagi.

Dani menggelengkan lemas. "Gue nggak sanggup, Lik. Gue mau di sini aja."

Raka mengangguk setuju. Mereka lebih baik bermalas-malasan di dalam kelas ketimbang nongkrong di kantin. Resiko yang didapat jelas lebih besar kalau ketahuan oleh guru piket.

Liko menghela napas lagi. Tidak ada pilihan selain tetap berada di kelas.

"Dari pada nggak ada kerjaan, mending kerjain tuh soal-soal," ujar Yuta menatap buku yang terkembang di atas meja Dani, Raka dan Liko. Mereka sengaja menggabungkan meja seperti sedang belajar kelompok. Tapi nyatanya tidak ada gunanya.

Dani menggolekkan kepalanya dengan malas di atas meja. Lalu menyahut dengan suara pelan. "Dia nggak salah, ngapain dikerjain."

"Nggak usah ngelawak lo. Nggak bakal lucu," balas Raka mendorong pelan kepala Dani.

Yuta menatap teman-temannya yang terlihat seperti manusia terdampar di pulau tersembunyi dan tidak makan selama tiga hari. Lemas sekali. "Katanya mau kuliah di UI, UGM, Colombia, tapi kerjaan malas-malasan begini."

"Belajar itu butuh mood, Tuy. Sedangkan saat ini gue lagi nggak mood untuk melakukan apapun," ujar Dani.

Plak!

Tiba-tiba saja seseorang memukul kepala belakang Dani menggunakan buku yang diduga memuat dua ratus halaman atau mungkin lebih. Rasa lemasnya langsung hilang. Matanya yang lesu langsung berubah tajam. Menoleh, dia menemukan Sesilia berdiri sembari berkacak pinggang. Ada buku paket tebal di tangan kiri gadis itu.

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang