13. Rasa sakit yang dipaksa bersembunyi

13 7 1
                                    




***






"Ibu yakin untuk sembuh tanpa bantuan dan tanpa sepengetahuan siapapun?" tanya pria berjas putih yang duduk di hadapan mama.

Meski merahasiakan apa yang dideritanya bisa membuat Yuta atau siapapun itu benci padanya, mama akan tetap melakukannya. Dia akan terus tutup mulut hingga penyakit itu berhasil sembuh. Kalaupun akan abadi dengan rasa sakit di bagian jantung, mama akan menerimanya dan akan tetap merahasiakannya hingga akhir hayatnya.

Mama hanya tak ingin Yuta khawatir. Hidup putranya sudah cukup berat. Apa yang diderita mama tentu hanya akan menjadi beban tambahan dan membuat hidup anak itu semakin sulit. Mama tidak ingin Yuta terluka lagi.

"Yakin," jawab mama tanpa ragu.

Dokter Ardi membenarkan kaca matanya. Cukup sulit baginya untuk menangani mama yang keras kepala. Sebagai dokter yang telah mengobati mama selama empat tahun lebih, dia sedikit tidak setuju dengan keputusan mama untuk merahasiakan penyakitnya dari putra satu-satunya.

Tidak bisa dibayangkan betapa sakitnya Yuta kala suatu saat tau mamanya menderita penyakit parah. Dan lebih menyakitkan lagi kala Yuta tau saat mama telah tiada. Dokter Ardi bukan mendo'akan umur mama tidak akan panjang. Tapi umur tidak ada yang tau. Jikalau nanti mama tidak bisa bertahan, orang yang paling terluka adalah Yuta. Tak ada bedanya dengan sekarang. Yuta akan tetap terluka baik tau atau tidaknya dengan apa yang mama derita dan sembunyikan.

"Saya mohon dengan sangat, dokter Ardi. Tetap rahasiakan ini dari Yuta," pinta mama.

"Saya menghargai keputusan ibu." Dokter Ardi pasrah.

Mama tersenyum lega. "Terima kasih, dok."

Namun nyatanya, mama tak pernah tau bahwa penyakit yang dideritanya tidak akan bisa sembuh. Meski dilakukan operasi sekalipun. Memasang katup jantung bukan berarti menghilangkan penyakit tersebut. Melainkan sebagai obat agar mama bisa terus hidup. Sejauh ini dokter Ardi belum mengatakan pada mama bahwa apa yang dia derita tidak bisa diakhiri dengan mudah. Dokter Ardi akan menunggu waktu yang tepat dan melihat perkembangan kesehatan mama.

"Operasi akan dilaksanakan Minggu depan. Pastikan pola hidup ibu tidak berantakan. Hindari hal-hal yang telah kita diskusikan sebelumnya," jelas dokter Ardi.

Mama menyanggupi. "Baik, dok."

Tepat disaat obrolan mama dan dokter Ardi berakhir, telepon mama berdering. Layar menyala tersebut menampilkan satu nama yang baru saja mama pikirkan.

Yuta.













***









"Kayaknya mama bakal lama, Yut. Mungkin baru bisa pulang bulan depan."

Yuta meletakkan gelas kosong di atas meja. Isinya telah dia teguk habis bersama kekhawatirannya tentang mama yang tak kunjung kembali. Dua minggu yang dijanjikan telah berlalu lama. Ini hampir memasuki minggu ketiga dan pekerjaan mama tak jua usai. Yuta kasihan pada mama yang bekerja terlalu keras.

"Kok lama sih, ma? Ini Yuta sendirian di rumah. Kangen mama, kangen masakan mama. Masa iya makan di rumah--" Yuta berhenti bicara kala hampir membeberkan dimana dia numpang makan selama mama tidak ada.

"Makan di rumah siapa?"

"Rumah Raka," sambung Yuta cepat. Mama tentu akan marah kalau tau Yuta hidup bergantung pada ayah Sesilia.

Terdengar kekehan pelan dari seberang. "Nanti mama ganti deh biaya makan kamu selama di sana."

"Bukan gitu, ma. Yuta males sendirian."

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang