20. Tidak ada yang benar-benar ingin hidup

9 7 0
                                    

***





"Tuy," panggil Raka yang tengah goyang-goyang kaki di bangku belakang.

"Hm," sahut Yuta tanpa menoleh. Tatapannya tetap tertuju pada buku yang terkembang. Yuta menuliskan beberapa kalimat yang tentunya bukan bagian dari sebuah pelajaran. Kalau pelajaran hidup sih iya. Dia bosan membaca buku sejarah, malas mengerjakan soal-soal analisis matematika dan tidak punya mood untuk membaca buku lain. Yuta mendadak kehilangan semangat.

"Kalau seandainya mesin waktu itu beneran ada, lo bakal pergi kemana?" tanya Raka random.

Dani tertawa pelan menanggapi. Pertanyaan basi yang kerap Dani temui di buku-buku romansa keluarga yang hidup dalam kekacauan. Ibu dan bapak yang berhenti menjadi orang tua, anak yang menyerah dan putus asa, hidup yang tak berjalan sesuai rencana dan segala macam hal menyedihkan lainnya. Dani kerap mencerca kisah-kisah seperti itu. Meski demikian, Dani tetap punya jawaban atas pertanyaan Raka.

"Kalau gue sih bakal balik ke masa dimana gue masih umur 3 tahun. Terus gue bakal menikmati masa kecil gue dengan sungguh-sungguh," jawab Dani.

"Gue nanya Atuy, tapi sabi juga jawaban lo," balas Raka tersenyum pada Dani yang keburu cemberut. "Jawab, Tuy!"

"Gue bakal balik ke masa dimana gue nggak akan dilahirkan," jawab Yuta seraya menutup bukunya. Beberapa baris kalimat telah dia tulis. Rangkaian kata yang entahlah, mendadak ingin dia tuangkan pada kertas putih. Berharap semua yang mengganjal di hatinya sirna kala apa yang dia rasakan telah tumpah dalam bentuk tulisan.

Kaki Raka yang berada di atas meja langsung diturunkan. Matanya menatap punggung Yuta yang tak kunjung berubah menjadi wajah laki-laki itu. "Alasannya?"

"Ya pengen aja," jawabnya.

"Ada gitu manusia nggak mau dilahirkan karena pengen aja?" tanya Raka pula.

"Nggak ada. Terkecuali dia tau hidupnya bakal nggak baik-baik aja setelah dilahirkan. Setiap manusia nggak pernah tau dia bakal terlahir kayak gimana. Makanya, pas mau lahir ya lahir aja. Tapi, lagi-lagi setelah tau hidup nggak seindah itu, dia menyesal dan pengen untuk nggak terlahir ke dunia." Liko menjelaskan dengan wajah santai pada kedua temannya yang melongo. Sedangkan Yuta masih tak menunjukkan raut wajahnya pada mereka. Betah sekali laki-laki itu memunggungi mereka.

Dani mengangguk, setuju dengan apa yang Liko katakan. "Gue kalau tau bakal hidup kayak gini juga bakal milih untuk nggak lahir."

"Hidup lo enak, pe'a." Raka berseru tidak habis pikir. Manusia punya banyak uang itu sempat-sempatnya berkata tidak ingin dilahirkan.

"Enak di mata lo. Di gue mah nggak enak," sahut Dani.

"Apa lagi yang kurang dari hidup lo, Dani? Emak bapak ada. Materi aman. Fasilitas dikasih. Makan teratur dan bergizi. Mau ini itu langsung dikasih. Hidup lo udah enak. Keluarga lo udah cemara, Dan. Nggak usah ngeluh lagi," jelas Raka.

Dani menghela napas. "Gue juga nggak tau kenapa gue nggak bahagia, Rak. Gue nggak merasa bahagia dengan semua yang gue miliki."

"Manusia emang gitu." Yuta yang sedari tadi diam berbalik menatap Raka, Liko dan Dani. "Lo nggak bahagia sama hidup lo dan gue nggak bahagia sama hidup gue. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, kehidupan kita udah paling baik. Bisa makan dan bernapas dengan baik aja udah syukur sebetulnya. Tapi manusia nggak pernah mau sadar sama hal kecil kayak gitu. Gue selalu pengen punya keluarga kayak keluarga Raka atau Dani, tapi kalian malah pengen hidup kayak gue yang menurut kalian menyenangkan. Padahal nggak sama sekali."

"Apa yang dilihat belum tentu keadaan sebenarnya." Liko menyimpulkan.

Dani mengangguk. Dia terlalu banyak mengeluh. Sementara diluar sana, ada banyak manusia yang berdo'a agar bisa hidup seperti dirinya.

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang