8. Kembali sebagai teman

19 13 0
                                    

***

Yuta benci berada di rumah sakit. Maka dari itu, di pagi hari yang cukup mendung ini Yuta memutuskan untuk pulang. Terus berbaring di rumah sakit hanya akan membuang lebih banyak waktu. Dada Yuta juga sudah tidak sakit lagi. Kalaupun nanti kambuh, Yuta akan minum obat. Sebab dia tau bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Dan lagipula, tidak ada yang menemaninya jika Yuta tetap dirawat di rumah sakit. Tidak ada bedanya saat di rumah. Yuta akan tetap sendirian.

"Kamu kalau ada apa-apa kasih tau ayah. Jangan diam aja."

Yuta hanya membalas dengan anggukkan. Ayah dan Sesilia bertugas sebagai walinya. Mengantar Yuta hingga ke dalam kamar dan memastikan Yuta beristirahat. Ayah akan meminta izin pada wali kelas selama beberapa hari agar Yuta dapat beristirahat dengan tenang.

Mama juga sudah diberitahu, tapi responnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah mama Yuta. Katanya mama belum bisa pulang. Mama akan meminta adiknya untuk mengawasi dan merawat Yuta selama mama di luar kota. Tidak perlu kaget lagi sebetulnya. Mama semakin hari tampak semakin berbeda. Dia semakin sibuk. Mama semakin abai terhadap Yuta.

"Kalau butuh apa-apa, kasih tau Sesilia. Mau makan atau ada yang sakit, tolong kasih tau Sesilia." Ayah mewanti-wanti. Dia takut kejadian seperti ini terjadi lagi.

Yuta lagi-lagi mengangguk.

Ayah tersenyum. Dia mengusap rambut Yuta yang mulai memanjang. "Ayah ke kantor dulu."

"Iya." Yuta tersenyum. "Makasih, yah."

"Iya."







***








Terlepas dari segala rasa sakit yang Yuta terima, ada banyak hal yang bisa dia syukuri. Yuta cukup beruntung karena telah terlahir sebagai manusia. Punya akal, emosi dan harapan. Tak seharusnya Yuta terus meratap, mengiba pada mereka yang memilih untuk memutus ikatan dengan Yuta. Ditinggal pergi oleh orang yang masih hidup belum ada apa-apanya dengan mereka yang ditinggal mati. Yuta sadar, berharap secara terus menerus hanya akan membuat dirinya seperti mayat hidup. Yuta hidup tapi kosong.

"Lo mau makan apa?"

Yuta menoleh, menemukan Sesilia melangkah mendekati ranjangnya. Yuta menatap gadis itu sejenak. Seragam putih abu-abu, kardigan putih, tas selempang dan kaos kaki abu-abu yang sudah pasti bau. Penampilannya berantakan sekali.

"Kenapa nggak ganti baju dulu?"

Sesilia mengedikkan bahu sembari menarik kursi dan duduk di sana. "Lo mau makan apa? Gue mau pesen makan."

"Pecel ayam. Bagian dada dua potong. Sambalnya juga double," jawab Yuta.

Sesilia segera memesan makanan yang dimaksud Yuta di aplikasi online. Ayah tidak memasak. Katanya kalau mau makan, beli di luar saja. Intinya, pastikan Yuta makan dan minum obat. Sebab kata dokter yang menangani Yuta, penyakit anak itu tidak bisa dianggap bercanda.

Ayah merahasiakan penyakit Yuta dari Sesilia. Entah apa alasannya, ayah tidak ingin memberitahunya.

"Dani, Raka sama Liko ada nanyain gue?" Yuta tiba-tiba teringat dengan teman-temannya. Yuta belum mengabari mereka perihal absennya Yuta hari ini. Mereka pasti khawatir.

"Ada. Katanya mereka mau ke sini," jawab Sesilia. Fokusnya hanya pada layar ponsel yang ditatapnya dengan sangat serius.

Baguslah. Yuta butuh ketiga teman somplaknya agar hidupnya tak terlalu suram. Biarpun nantinya mereka hanya merusuh, kehadiran mereka jelas akan menjadi obat tersendiri bagi Yuta.

"Gimana suasana kelas tanpa gue? Suram pasti." Yuta berusaha bangun. Dia ingin menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Rebahan terlalu lama juga tidak baik. Tubuh Yuta dibuat semakin lemas.

Melihat Yuta yang kesulitan, Sesilia sigap membantu. Dia memegang bahu Yuta. Menyandarkan punggung laki-laki itu dengan hati-hati. Padahal nyatanya Yuta bisa sendiri. Dia tidak selemah itu sampai harus dibantu. Tapi tidak apa. Kapan lagi Yuta dirawat Sesilia.

"Aman?" tanya Sesilia setelah memastikan Yuta duduk dengan baik.

"Aman," jawab Yuta mengacungkan jempolnya.

Sesilia mengangguk. Dia kembali duduk di kursinya. "Apa tadi?"

Yuta menghela pelan. "Gimana rasanya nggak ada gue di kelas? Enak pasti ye? Nggak ada yang gangguin lo." Yuta mengulang dengan pertanyaan yang berbeda.

Sesilia menggeleng. "Hampa."

Lantas tawa Yuta pecah. "Kenapa bisa hampa?"

"Nggak tau. Hampa aja. Anggota lo mendadak kalem. Kayaknya selama ini yang bikin mereka bar-bar elo, Yut," jawab Sesilia disusul kekehan pelan.

"Mereka mah emang gitu. Nggak ada yang bisa dizolimi makanya diam," sahut Yuta.

Mendengarnya Sesilia tertawa. Seperti ada cahaya kala tawa itu muncul. Manis dan cantik. Yuta terpana sejenak. Masih tidak menyangka gadis yang berusaha menghindarinya setengah mati itu tertawa saat bersamanya. Setelah sekian lama, ini kali pertama Sesilia tertawa di depan Yuta. Rasanya benar-benar berbeda. Hati Yuta terasa bergetar.

"Lo emang cocok sih dizolimi," ujar Sesilia membenarkan.

"Emang muka gue kayak minta ditindas?" tanya Yuta tak habis pikir.

"Iya. Tapi yang nindas lo cuma kita-kita aja. Yang lain mana berani."

Yuta mencebikkan bibirnya. "Mentang-mentang gue baik."

Sesilia tertawa lagi. Yuta memilih menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu memang senang jika Yuta menderita.

"Spada!"

"Yuta!"

"We are here for you!"

Yuta terkejut kala tiga laki-laki yang baru saja dia bicarakan muncul dari balik pintu kamar yang dibuka. Sama halnya dengan Sesilia, mereka juga masih mengenakan seragam putih abu-abu yang sudah kusut. Dasi di dahi dan kemeja dekil yang dibiarkan keluar dari celana.

"Lo kenapa, set? Bisa tumbang juga ternyata." Raka berjalan menghampiri Yuta untuk bersalaman ala pria sejati.

Yuta memukul bahu Raka pelan. "Gue juga manusia."

"Gue pikir lo gatot kaca, Tuy," timpal Dani yang duduk bersila di lantai.

"Lo kali yang gatot kaca," balas Yuta.

Dani tertawa garing. "Gue mah gundala."

Sesilia yang mendengarkan obrolan tidak penting ketiga manusia itu hanya bisa geleng-geleng prihatin. Pantas saja mereka berteman. Se-frekuensi dan sama miringnya.

"Eh, ada Isil." Nadanya terdengar menyebalkan. Sesilia menendang lutut Dani yang kebetulan berada tak jauh dari kakinya.

Laki-laki itu mengaduh, sedangkan Liko dan Raka tertawa.

"Lo jagain, Yuta. Gue mau balik," titah Sesilia seraya beranjak dari kursi.

"Kita baru nyampe padahal," cicit Dani kecewa.

"Gue mau pergi main." Sesilia membenarkan kardigannya. "Nanti gue ke sini lagi."

"Main sama siapa?" Bukan Dani yang bertanya melainkan Yuta.

"Pacar gue."

Lalu dengan begitu saja, kamar Yuta menjadi hening. Sesilia menatap mereka satu persatu, hingga kemudian memilih berlalu pergi.

Ketiga laki-laki itu hanya bisa menatap kepergian Sesilia dalam diam. Gadis itu benar-benar maung dalam bentuk manusia. Tidak punya hati dan galak.

"Eh, btw kok kalian udah akrab aja?" Dani baru menyadari satu hal yang janggal.

"Gue sama dia udah damai."

"Balikan?" celetuk Liko.

Yuta menggeleng. Balikan? Itu adalah hal mustahil yang tidak akan pernah terjadi.

"Gue dan dia kembali sebagai teman."























***








Salam dari penulis yang kepalanya udah ngebul



See you:)

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang