9. Payung hitam di bawah hujan

15 11 0
                                    

***






Dani, Liko dan Raka sudah beranjak dari rumah Yuta dua jam yang lalu. Kini di tengah kesunyian kamar, Yuta ditinggal sendirian bersama dua potong pecel ayam bagian dada serta beberapa buah sambal. Makanan itu datang tepat disaat ketiga temannya pergi. Mereka tidak bisa tinggal lebih lama karena diminta pulang oleh mereka yang telah menunggu di rumah. Terkecuali Liko yang mempunyai kepentingan lain.

Jarum jam telah berlabuh pada angka enam. Sore telah berlalu dan malam akan segera menguasai. Yuta membiarkan kamarnya tetap gelap.

Di atas ranjang, Yuta menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang menerawang jauh. Tidak jelas apa yang sedang Yuta pikirkan. Tapi rasanya setiap hal yang bertabrakan di dalam kepalanya terasa berat untuk dijalani di kehidupan sehari-hari. Seperti pertanyaan, kenapa harus Yuta yang berada di posisi seperti ini?

Katanya, setiap manusia diberi ujian seperti demikian karena dia sanggup untuk melewatinya. Tapi, rasanya ini terlalu berat. Yuta tidak kuat. Bahkan ini masih di bagian pertengahan dan Yuta seakan ingin menyerah. Hidup yang Yuta jalani benar-benar terasa melelahkan.

Mungkin beberapa orang menganggap Yuta berlebihan dalam menghadapi masalah yang mungkin saja tidak seberapa. Masih ada masalah lain di luaran sana yang tentunya lebih berat dari apa yang Yuta jalani saat ini. Tapi bagi Yuta tentu berbeda. Baginya ini adalah konflik paling berat dalam hidupnya. Bukan hanya tentang ditinggal pergi, tapi juga tentang bagaimana Yuta bisa menerima dirinya sendiri setelah melewati semua yang terjadi.

Bahkan disaat-saat sendiri, Yuta sering berandai agar dia mati.

Untuk apa hidup jika tidak ada lagi yang peduli padanya? Sebab setelah melihat mama, Sesilia dan ayah yang berhenti peduli padanya, Yuta menganggap semua orang di sekitarnya tidak ada bedanya dengan mereka.

Mungkin dibeberapa waktu Yuta bersyukur karena masih mempunyai Dani, Raka dan Liko yang peduli terhadapnya. Namun di sisi lain, Yuta menganggap dia tetap sendirian.

Suara motor yang berhenti di depan rumah Sesilia membuat Yuta ditarik dari lamunan panjang yang selalu berakhir dengan meratapi nasibnya. Yuta benci dengan dirinya yang suka mengeluh, yang suka bersedih. Tapi apalah daya, Yuta tidak bisa menghindar dari luka menganga yang tak kunjung sembuh itu.

Teringat dengan Sesilia yang mungkin saja sudah pulang, Yuta beranjak turun dari ranjangnya. Yuta tak selemah itu sebetulnya. Dia masih bisa berjalan, makan dan ke kamar mandi dengan baik. Tapi mereka menganggapnya seperti manusia yang mengidap penyakit mematikan.

Yuta berdiri di depan jendela kamar. Menatap Sesilia dan Faldo yang berdiri saling berhadap-hadapan. Hujan ringan mulai turun. Sesilia tampak berang pada Faldo yang berusaha menggapai tangan Sesilia. Yuta tidak tau pasti apakah mereka sedang bertengkar. Namun Yuta tau bahwa hubungan sepasang manusia itu sedang tidak baik-baik saja.

Faldo tampak marah dengan tangan yang mengepal di sisi tubuh. Laki-laki itu berbalik, menaiki motornya dan pergi dari sana. Meninggalkan Sesilia yang terdiam dan jatuh lemas. Gadis itu pasti menangis.

Yuta masih berdiri di sana. Masih menatap seorang gadis yang bertahan di bawah hujan.

Melihat Sesilia menangis, Yuta jadi teringat dengan dirinya kala ditinggal pergi oleh gadis itu. Kala ditinggal pergi oleh ayah. Dan ketika ayah kembali untuk menyampaikan bahwa mereka tidak bisa kembali hidup seperti dulu.

Ada nyeri yang membuat Yuta sesak. Dadanya seperti dihantam batu besar.

Dia meringis pelan, lalu menatap lagi pada seorang perempuan yang tak beranjak dari tempatnya. Sesilia bertahan dibawah hujan yang turun semakin deras.

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang