***
Sesilia tidak tau kenapa ayah memintanya mengetuk pintu rumah Yuta pada pukul dua belas malam yang mana notabenya pemilik rumah sudah terlelap di atas kasur empuknya. Ayah ingin memastikan Yuta baik-baik saja sebab laki-laki itu tidak makan malam di rumahnya. Ayah tau Yuta sendirian, maka dari itu ayah meminta Yuta untuk datang makan di rumahnya. Namun setelah ditunggu, Yuta tak kunjung muncul. Ayah jelas khawatir. Takut Yuta kenapa-kenapa.
Berkali-kali Sesilia mengetuk pintu depan rumah Yuta. Tapi tak kunjung ada sahutan dari dalam. Sesilia juga berteriak dengan suara keras dan hasilnya tetap sama.
Sesilia sempat berpikir Yuta telah tidur. Tapi dilirik jendela kamarnya yang berada di lantai 2, masih terang benderang. Yuta bukan tipe manusia yang bisa tidur dalam keadaan terang.
Lantas dengan begitu saja, Sesilia mendorong pintu utama yang kebetulan tidak terkunci. Sembari terus memanggil nama Yuta, Sesilia bergerak menyisir seluruh ruangan. Dapur, ruang makan, ruang tengah dan berakhir dengan lancang menaiki tangga menuju kamar Yuta.
Mulanya Sesilia ragu untuk mendorong pintu kamar Yuta. Namun dia tidak punya pilihan lain. Firasatnya terlanjur buruk.
Dan ya, Sesilia menemukan Yuta tergeletak dengan mata terpejam. Barang-barang di meja berserakan disekitar Yuta. Sesilia tentu syok. Pikiran buruk memenuhi kepalanya. Dengan begitu, Sesilia langsung berteriak dari kamar Yuta. Memanggil ayah yang sedang menunggunya di depan pagar.
Bohong jika Sesilia berkata tidak khawatir. Melihat Yuta tidak sadarkan diri tanpa diketahui siapapun, air mata Sesilia jatuh. Tanpa sepengetahuan Yuta, Sesilia merasa bersalah pada malam itu.
***
Perlahan, Yuta mulai membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah ayah yang berada tepat di depan wajahnya. Kemudian dia mendengar sorakan bahagia seperti saat tim bola favorit ayah berhasil mencetak gol.
"Yuta sadar, Sil!"
Yuta belum sepenuhnya sadar. Dia masih berusaha menyesuaikan diri. Memastikan dimana dia berada. Ruangan putih dan aroma obat-obatan. Yuta mengangkat tangannya. Di sana, selang berisi cairan mengalir melalui jarum yang menusuk punggung tangannya. Seketika Yuta merasa lemas. Matanya kembali dia pejamkan.
"Yuta!" Ayah pikir Yuta pingsan lagi. "Dokter! Dokter!" Dan dia berteriak panik sembari berlari menemui dokter yang menangani Yuta.
Nafas Yuta terdengar tidak beraturan. Sesilia yang berada di sofa memilih mendekati. Tangannya terulur, menepuk-nepuk pipi Yuta.
"Yuta," panggilnya.
Yuta tidak pingsan. Dia hanya memejamkan matanya sesaat. Dia merutuki dirinya yang lemah.
"Siapa yang bawa gue ke sini?" Yuta bertanya lirih sembari menatap sayu Sesilia.
"Ayah," jawabnya. Jika Yuta bertanya siapa yang menemukannya, barulah Sesilia menjawab bahwa dirinya yang menemukan Yuta tergeletak dalam keadaan tidak sadar. Namun agaknya, Sesilia tidak akan semudah itu mengaku.
Yuta tidak sepenuhnya ingat apa yang terjadi tadi malam. Bagian yang masih membekas di ingatannya hanyalah mimpi buruk tentang kepergian ayah dan Sesilia. Serta rasa sakit di bagian dadanya. Sempat Yuta berpikir bahwa dia telah mati. Namun ternyata, Tuhan masih mengizinkan Yuta untuk terus hidup.
Ah, padahal Yuta sudah tak punya tujuan untuk terus hidup. Rasanya Yuta tak bisa untuk bahagia.
Tidak ada lagi yang benar-benar berarti dalam hidupnya. Bahkan mama sekalipun. Yuta berjanji untuk tidak meninggalkan mama bagaimanapun keadaannya. Tapi mama tidak pernah begitu pada Yuta. Disaat Yuta berusaha untuk selalu ada, mama justru pergi dan sibuk dengan dunianya sendiri. Mama tidak pernah sungguh-sungguh peduli pada Yuta. Mama hanya sedang berusaha untuk terus melanjutkan hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuta dan patah hatinya
Genç KurguTidak ada yang tersisa setelah patah hati pertamanya. Seharusnya begitu. Seharusnya semuanya habis ketika ayah memilih meninggalkan Yuta dan mama. Seharusnya cinta Yuta pada Sesilia habis di tahun ketika gadis itu memilih mengakhiri hubungan mereka...