19. Siapa yang sebenarnya terluka?

7 7 0
                                    



***






Yuta menemukan Sesilia duduk termangu di teras rumahnya. Tak jauh dari Sesilia, ada ayah yang tampak kacau dengan tatapan kosong. Mereka seperti sehabis diterjang tsunami yang membawa seluruh serta jiwa raganya. Hidup mereka seolah habis di hari kemarin, lalu hari ini tersisa tubuh yang menunggu waktu untuk pulang. Yuta memilih mendekat. Penasaran dengan ayah dan Sesilia yang tampak jauh dari kata baik-baik saja.

Lamunan mereka sepertinya terlalu jauh sehingga kedatangan Yuta tak disadari. Ada bekas air mata di pipi Sesilia. Ada bekas jari juga di sana. Merah yang mulai memudar. Yuta tatap ayah. Matanya juga menunjukkan bahwa ayah sedang terluka. Samar Yuta lihat urat amarah di leher ayah. Dia dibuat semakin bingung. Apa yang membuat ayah dan anak itu tampak enggan untuk melanjutkan hidup di hari ini?

"Ayah," panggil Yuta pada akhirnya.

Suara Yuta membuat ayah tersentak. Setitik air mata yang hendak turun tertahan di sudut mata. Ayah buru-buru mengusapnya, lalu menatap Yuta dengan sudut bibir yang dinaikkan.

"Eh, Yuta." Jelas sekali ayah sedang menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya. "Gimana ujiannya?"

Yuta tidak langsung menjawab. Matanya beralih pada Sesilia yang bersiap untuk pergi. "Baik."

"Baguslah."

"Lo kenapa absen, Sil?"

Pertanyaan Yuta membuat Sesilia tertahan di tempatnya. Sedikit lagi Sesilia memasuki rumah. Tapi karena pertanyaan Yuta, Sesilia memilih berhenti mengayunkan kakinya.

"Nggak biasanya lo nggak masuk. Sakit aja tetap lo terobos tuh kelas." Yuta berkata lagi.

Sesilia menarik napas dalam-dalam. Bukan tanpa alasan Sesilia tidak datang. Dia juga tidak ingin absen di hari penting ini. Tapi apa boleh buat, Sesilia ada kepentingan lain yang harus diselesaikan.

"Tadi ada keperluan dan nggak sempat minta izin," jawab Sesilia.

Yuta tidak percaya. "Keperluan apa?"

"Lo nggak perlu tau."

"Lo baik-baik aja kan, Sil?" tanya Yuta khawatir.

Sesilia menundukkan kepalanya. Sesilia benci dengan pertanyaan seperti itu. Sesilia lemah jika ditanya demikian. "Nggak usah peduliin gue Yut. Sekali-kali lo tanya diri lo, apa lo baik-baik aja? Jangan lupa sama diri sendiri karena terlalu peduli pada orang lain."

"Sil,"

"Berhenti ikut campur sama urusan gue, Yut. Berhenti peduli sama kehidupan gue. Fokus aja sama impian lo. Kejar cita-cita lo."

Yuta menggeleng pelan. Kenapa pembicaraan mereka menjadi berat? Yuta hanya sekedar bertanya apakah Sesilia baik-baik saja. Pertanyaan umum yang ditanyakan manusia kepada manusia lain sebagai bentuk kepedulian. Apa Yuta salah karena bertanya demikian? Dia hanya khawatir pada Sesilia.

"Maaf kalau kepedulian gue bikin lo nggak nyaman. Tapi gue khawatir sama lo," ujar Yuta jujur.

Tangan Sesilia mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Gue baik-baik aja. Dan selamanya akan baik-baik aja."

Setelah berkata demikian, Sesilia melangkah memasuki rumah. Menyisakan Yuta bersama kebingungan akan sikap Sesilia. Dia menatap ayah. Satu-satunya jalan terakhir untuk memperoleh jawaban ialah dengan bertanya pada ayah. Sejauh ini, ayah tidak pernah menyembunyikan masalahnya dari Yuta. Bahkan hal kecilpun akan ayah bagi pada Yuta.

"Yah," panggil Yuta sembari berjalan mendekati pria itu, lalu duduk di sebelah ayah.

"Kamu sudah makan siang, Yut?" tanya ayah.

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang