***
Membosankan.
Buku yang terbuka Yuta tutup rapat. Belajar tidak membuatnya merasa senang. Waktu tetap bergerak lambat meski Yuta telah melakukan banyak aktivitas. Dia menghela napas. Tatapannya tertuju pada kamar Sesilia. Entah keberuntungan sepertinya apa, kamar Yuta malah menghadap langsung pada jendela kamar perempuan itu.
Yuta dapat melihat Sesilia dengan jelas. Belajar dibawah remangnya cahaya lampu belajar ditemani musik yang mengalir melalui earphone yang menyumpal kedua telinganya. Sesilia tetap ambisius. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Waktu yang tepat untuk tidur. Tapi perempuan itu malah memilih begadang.
***
"Saya mau kita pisah. Maaf, saya lebih memilih keluarga pertama saya. Maaf karena kamu harus merasakan sakit."
Yuta berdiri di balik pintu, bersiap melangkah menuju dapur untuk mengambil air minum. Dia terbangun dari tidurnya karena merasa haus. Namun siapa sangka, dia justru harus menyaksikan pertengkaran ayah dan mama.
"Kenapa kamu melakukan itu pada aku dan Yuta? Apa yang sudah kami lakukan sehingga kamu harus berbuat sejahat itu, Mas?"
Tangis pilu mama menusuk tajam indera pendengaran Yuta. Matanya memejam, merasa sesak mendengar kenyataan bahwa kedua orang tuanya tidak berada dalam hubungan yang baik-baik saja. Cerita-cerita pahit dari anak broken home yang Yuta temui di pinggiran jembatan akan segera menjadi bagian menyakitkan dari hidupnya.
Fakta menyedihkan yang kerap dijadikan bahan bercandaan dan dianggap remeh itu akan segera terjadi pada hidup Yuta.
"Kalian tidak melakukan apapun. Kalian tidak jahat. Justru saya yang jahat. Saya terlanjur jatuh hati pada kamu dan lupa bahwa saya sudah punya keluarga."
Fakta lainnya, mama hanyalah perempuan selingkuhan. Mama adalah tempat pelampiasan.
Mama menutup mulutnya, berusaha meredam suara tangis yang sudah terlanjur Yuta dengar. "Kenapa harus kami yang kamu tinggalkan?"
"Karena saya mencintai Dania. Maaf, Dara. Cinta saya lebih besar untuk Dania."
Yuta mendorong lebih dalam tubuhnya pada celah antara dinding dan lemari kayu di dekat tangga. Dia bertahan di sana, mendengar fakta-fakta menyakitkan yang ayah tinggalkan untuk mereka.
Plak!
Mama menampar ayah. Menyalurkan rasa sakit, kecewa dan sedih yang bersatu menggerogoti dadanya. "Kalau kamu memang sadar dengan rasa cintamu yang besar pada Dania, kenapa kamu malah datang di hidup kami? Apa cinta yang besar itu tidak cukup untuk kamu dan Dania? Apalagi yang kurang? Otak kamu?"
Ayah tidak membalas. Kepalanya tertunduk, menatap pada ujung kaki yang telah dibungkus sepatu. Usai berbicara dengan mama, ayah akan langsung meninggalkan rumah ini. Membawa semuanya, menyisakan kepedihan yang entah kapan akan berakhirnya.
"Maaf."
"Aku udah nggak tau lagi mau ngomong apa sama kamu, Mas. Yang jelas, aku benci kamu."
Ayah menerima kebencian mama dengan lapang dada. Sebab dari awal, ayahlah yang menyebabkan mereka menjadi hancur seperti ini. Ayah tidak akan membela, sebab dia yang jatuh pada pelukan mama sampai memilih menikahinya tanpa tau resiko yang menunggu di masa yang akan datang.
"Malam ini saya harus kembali ke rumah. Besok semuanya akan segera diurus. Dan sampai bertemu di persidangan."
Tampaknya pria itu benar-benar tidak punya hati. Dia pergi, menyeret kopernya meninggalkan mama yang hampir mati menahan tangis. Wanita itu terduduk di atas lantai dingin, menyesali semua hal yang terjadi dalam hidupnya.
Sementara Yuta, dia tetap diam di tempatnya. Ayah mencampakkan mereka begitu saja. Seharusnya Yuta marah dan memukul pria itu. Tapi dia tidak sanggup untuk melakukannya. Yuta tidak bisa membunuh pria yang telah membuat mama menangis. Dia justru ikut menangis, meraung dalam diam.
Kenapa harus Yuta?
Dia bertanya kala bangun dengan mata yang sembab. Kejadian semalam membekas hebat di kepalanya, membuat Yuta kesulitan untuk tidur.
"Mama!"
Yuta tidak menemukan mama di mana-mana. Pintu kamarnya terkunci. Ada note kecil tertempel di sana, mengatakan bahwa mama pergi ke rumah nenek.
Ya, lagi-lagi Yuta dilupakan.
Mungkin mama tidak dalam kondisi sadar. Dia tentu paling terluka.
Lantas dengan sisa tenaga, Yuta melangkah keluar rumah. Hal yang pertama dia lihat adalah Sesilia. Perempuan dengan seragam putih abu-abu itu berdiri di halaman rumah Yuta.
"Sil..."
Sesilia melangkah mendekati Yuta yang berdiri di atas teras rumah. Sorot mata perempuan itu tampak berbeda. Yuta menggeleng pelan, malapetaka seperti apalagi yang akan menimpanya.
"Yuta," panggilnya dengan suara pelan.
Tanpa banyak bicara, Yuta langsung memeluk Sesilia. Tangisnya kembali tumpah di pelukan perempuan itu.
"Sil..."
Tanpa diduga, Sesilia mendorong Yuta menjauh. Perlakuan Sesilia tentu membuat Yuta terkejut.
"Sil.."
"Ayo putus, Yuta..."
Bahu Yuta langsung melemas.
"Sil," Yuta mencoba meraih pergelangan tangan Sesilia, tetapi perempuan itu bergerak menjauh. Dia menolak.
"Aku mau kita putus."
***
Mata Yuta terbuka kala merasakan sakit di bagian dadanya. Merintih pelan, Yuta menekan dadanya beharap rasa sakit itu hilang. Rasanya sakit sekali. Organ di dalam sana berdetak begitu cepat.
"Ma," rintihnya seraya beranjak dari kursi. Yuta hendak melangkah mendekati nakas di samping kasur untuk mengambil pereda nyeri yang dia sembunyikan. Namun belum ada satu langkah dia meninggalkan meja belajar, tubuh Yuta sudah merosot. Nafasnya memburu dengan tingkat kesadaran yang menipis. Yuta tidak menyangka mimpi buruk itu akan berefek seperti ini padanya.
Yuta berusaha bangkit. Menumpu telapak tangannya pada kursi yang mana pada akhirnya tidak berguna. Yuta kembali jatuh, membawa kursi turut tumbang.
Tubuhnya tergolek di atas lantai yang dingin. Satu tangannya meremas kuat di bagian dada. Jantungnya, Yuta merasa jantungnya berlebihan dalam bekerja.
"Ma..."
Sayangnya Yuta hanya sendirian di sana. Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Lampu remang di kamar Sesilia pasti sudah padam. Yuta tidak bisa berteriak meminta tolong. Dia tidak punya kekuatan untuk berteriak.
Nafas Yuta tersengal. Matanya sudah tak bisa diminta untuk terus terbuka. Satu tangan Yuta tergeletak tak berdaya, pertanda dia sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Apakah Yuta akan mati? Dengan cara seperti ini?
Dalam keheningan, Yuta menyempatkan diri untuk tertawa. Hidupnya benar-benar lucu. Yuta ditinggal sendirian, sementara yang lain pergi dengan alasan menyembuhkan diri dari rasa sakit. Tanpa mereka sadari, Yuta juga sakit. Yuta juga ingin sembuh.
Perlahan mata Yuta memejam. Dia tidak sanggup untuk tetap sadar. Rasanya benar-benar sakit.
***
Pesan untuk Yuta?
See you:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Yuta dan patah hatinya
Teen FictionTidak ada yang tersisa setelah patah hati pertamanya. Seharusnya begitu. Seharusnya semuanya habis ketika ayah memilih meninggalkan Yuta dan mama. Seharusnya cinta Yuta pada Sesilia habis di tahun ketika gadis itu memilih mengakhiri hubungan mereka...