3. Masa lalu yang tak pernah hilang

38 24 1
                                    

***







Pagi Minggu seharusnya menciptakan suatu hal yang menyenangkan. Ya, kalau saja mama tidak pergi ke kantor dan akan meninggalkan rumah selama seminggu karena ada dinas di luar kota. Entah kenangan buruk seperti apa yang ada di rumah ini sehingga mama tidak betah berada di rumah. Yuta sempat mengusulkan agar mereka pindah rumah jika tempat ini terlalu menyakitkan untuk terus mereka tinggali. Tapi mama tidak ingin meninggalkan rumah ini. Katanya Yuta hidup dan tumbuh di rumah ini. Ada banyak peristiwa yang telah mereka lalui. Akan sangat disayangkan jika segala kenangan itu ditinggal begitu saja.

Apapun keputusan mama, Yuta hanya bisa menuruti. Bahkan dia tidak bisa menahan mama agar tidak bekerja di hari yang seharusnya mereka jadikan sebagai hari rehat dan berbagi cerita atas segala kesulitan di enam hari yang telah mereka lewati.

"Yuta!"

Lamunannya pecah kala ayah Sesilia memanggil dari balik pagar. Yuta kebetulan duduk di teras rumah sembari menikmati sarapan yang telah dibuatkan mama. Niatnya ingin menikmati pagi seraya membaca buku, tapi Yuta keburu melamun.

"Masuk aja, yah! Pagarnya nggak dikunci, mama juga nggak ada!"

Ayah Sesilia mendorong pagar. Melangkah memasuki halaman rumah Yuta, lalu tersenyum pada sosok remaja yang berdiri, bersandar pada pilar teras.

"Kemana mama kamu, Yut?" tanya ayah.

"Kerja."

"Di hari Minggu?" tanya ayah sedikit kaget.

Yuta terkekeh. "Ayah sendiri mau kemana? Rapi bener."

Ayah terkekeh pelan. "Ada kerjaan sedikit."

Yuta mencibir. "Ayah sama aja kayak mama."

"Namanya juga nyari uang, Yuta." Ayah tersenyum.

Yuta ikut tersenyum. "Btw ada perlu apanih kesini?"

"Nah, iya," ayah teringat dengan tujuan dia datang ke rumah Yuta. "Itu, plafon di kamar Sesilia ambruk. Ayah mau minta tolong kamu untuk memperbaikinya."

Mata Yuta terbelalak kaget. "Terus? Dianya nggak ditimpa plafonnya kan?"

"Enggak. Ambruknya pas lagi sarapan. Ada tikus yang lari-larian di loteng. Mungkin karena itu."

"Kenapa nggak panggil tukang aja, yah?"

Ayah tersenyum lebar. "Kenapa harus manggil tukang? Kamu kan bisa."

Yuta langsung ketar-ketir. Dia memang sedikit mahir dalam urusan pertukangan, tapi dia tidak sanggup jika harus di suruh memasang plafon yang ambruk. Plafon loh, plafon. Yuta mana bisa.

"Sejak kapan aku bisa, yah?"

"Waktu itu, kamu memperbaiki plafon kamarnya pak rt," jawab ayah membuat Yuta tak bisa mengelak. Yuta memang pernah memperbaiki plafon kamar  pak rt. Itupun karena terpaksa.

"Tapi kan itu beda, yah," elak Yuta.

Salah satu alis ayah terangkat. "Oh, jadi begitu. Iya, ayah tau kalau ayah dan pak rt itu berbeda. Tapi bukan berarti kamu boleh pilih-pilih dalam menolong orang. Semua manusia sama di mata Tuhan."

Kacau, Yuta malah kena ceramah.

Yuta menolak bukan karena tidak sanggup, melainkan karena harus memperbaiki plafon di kamar Sesilia. Bayangkan saja, kamar Sesilia. Yang benar saja. Hubungan Yuta dan Sesilia sedang tidak baik-baik saja. Yuta tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika Yuta dan Sesilia berada di tempat yang sama bersama kecanggungan dan rasa benci yang tiada habisnya. Yuta rasanya tak sanggup. Kalau saja plafon yang rusak adalah plafon teras atau dapur, Yuta masih mampu memperbaikinya.

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang