22. Benar-benar hilang

13 8 2
                                    



***











Minggu terlewati begitu cepat. Yuta mulai terbiasa dengan kesendirian. Tanpa mama, tanpa ayah Sesilia dan tanpa Sesilia. Tidak ada lagi tangis kala rasa rindu itu datang lagi. Sesekali Yuta hanya mengusap dada, lalu menenangkan dirinya berkata bahwa Yuta tidak ditakdirkan untuk ada di antara mereka.

Yuta sudah tak lagi berandai-andai perihal kembalinya mereka. Yuta tidak lagi berharap mereka kembali. Mungkin sesekali Yuta tetap melamun, memikirkan bagaimana mereka bisa hidup. Tapi lambat laun, Yuta tersadar. Ada yang lebih penting dari itu. Yuta harus memikirkan bagaimana cara agar dirinya bisa terus hidup dengan baik. Memikirkan mereka secara terus menerus hanya akan membuat Yuta terus-terusan merasa sakit. Yuta tidak akan pernah sembuh jika tidak mau melepaskan pisau yang melukainya.

Kini, hasil ujian akhir akan keluar. Nilai yang Yuta dapat menentukan nasibnya di masa depan. Hari ini juga akan diumumkan siapa saja yang masuk nominasi siswa yang ikut SNMPTN. Jalur yang paling diharapkan oleh semua orang untuk bisa sampai di perguruan tinggi impiannya. Yuta tidak berharap banyak. Tapi jika namanya ada di urutan tersebut, Yuta akan sangat bersyukur.

Sembari menunggu pengumuman, Yuta dan teman-temannya memilih menghabiskan waktu di kantin. Meski yakin namanya tidak akan ada di daftar siswa berprestasi itu, mereka tetap saja merasa deg-degan. Mana tau dengan begitu tiba-tiba dibawah nama Jayuta Prima Putra ada nama Madani Nugraha, Raka malik dan Galiko Denanda. Meski mustahil, tak ada salahnya berharap.

"Bentar lagi kita pisah nih, pren," ujar Dani dengan wajah lesu. Dia mengaduk es tehnya dengan wajah tak bersemangat.

Raka mengangguk. "Gue bakal kangen sama kalian."

"Gue bakal kehilangan rumah," sambung Liko menggolekkan kepalanya di atas meja. Es teh tak lagi menarik kala teringat mereka akan segera berpisah.

Yuta tersenyum tipis. Minggu depan acara perpisahan akan diselenggarakan dan menjadi hari terakhir pertemuan mereka. Selanjutnya mereka harus berjuang sendiri menuju cita-cita yang dikhayalkan sejak kecil. Yuta yakin ini tidak berjalan dengan mudah. Sama seperti Liko, Yuta juga akan kehilangan rumah. Satu-satunya tempat pulang yang tersisa adalah teman-temannya. Namun dalam waktu dekat mereka akan sibuk dengan impian masing-masing.

Manusia datang dan pergi. Sekalipun manusia itu punya ikatan darah dan erat sekali hubungannya dengan kita, mereka akan tetap pergi. Yuta menghela pelan. Semoga saja dewasa tidak seburuk yang diceritakan orang-orang putus asa diluaran sana. Semoga indah itu benar-benar ada setelah berkali-kali dipatahkan. Yuta tidak ingin semua yang dia lewati saat ini berakhir sia-sia. Setidaknya, Yuta bisa bangga terhadap dirinya sendiri.

"Lo nggak akan pernah kehilangan apapun, Lik." Yuta merangkul bahu Liko. "Kita semua bakal tetap jadi rumah untuk lo."

"Kenapa sih harus ada yang namanya perpisahan?" tanya Dani pula.

"Gue juga nggak tau kenapa perpisahan itu harus ada. Tapi menurut gue, perpisahan ada untuk menyadarkan manusia bahwa yang selalu bersamanya tidak ada yang abadi. Selamanya itu tidak pernah ada. Yang ada hanya selama hidup," jawab Liko.

Dani mengusap wajahnya. "Baru kemarin kita jadi temen. Besok udah pisah aja.

"Waktu ya begitu, lewat aja tanpa kita sadari," sahut Raka.

"Gue nggak bisa pisah dari kalian," ujar Dani dramatis.

"Pisah bentar doang elah. Ntar juga bakal ketemu lagi," ujar Yuta pula.

"Kalian jangan pada sombong ya. Mana tau nanti gue yang paling terakhir sukses." Dani menatap teman-temannya satu persatu.

"Silahkan siram gue pakai air keras kalau gue sombong sama kalian," ujar Raka tanpa takut.

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang