2. Yuta, Sesilia dan kejelasan tak berujung

45 28 2
                                    














Yuta meninggalkan sekolah sekitar pukul setengah empat. Ada beberapa tugas yang harus dia kerjakan bersama teman-temannya. Sebetulnya sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Namun Yuta memilih mengulur waktu dengan duduk berdiam diri di pinggir lapangan basket, menyaksikan anak basket yang sedang latihan. Di seberang sana, ada Sesilia yang duduk sendirian. Sibuk berkutat dengan sketchbook-nya.

Yuta tidak tau pasti kenapa Sesilia masih betah di sekolah. Yang dia tau, Sesilia tidak ikut ekstrakurikuler manapun. Ayah kerap bercerita bahwa putri satu-satunya tidak mau ikut kegiatan lain. Sesilia takut akademiknya terganggu jika ikut kegiatan-kegiatan lain. Gadis itu hanya ingin fokus pada pelajaran. Ingin meraih nilai tertinggi agar bisa masuk di universitas impiannya.

Anak-anak basket berseru kala berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Yuta ikut bertepuk tangan. Kemudian membuang bungkusan telur gulung yang sudah habis ke sembarang tempat.

Di seberang sana, Sesilia masih bertahan. Tidak lagi menggambar atau sibuk dengan buku. Gadis itu berdiri kala dihampiri oleh salah satu anggota tim basket. Yuta tidak tau dia siapa sebab tidak pernah melihatnya. Mungkin anak kelas IPA.

Sepasang manusia itu terlibat obrolan singkat hingga kemudian si laki-laki berlalu lebih dulu. Menyisakan Sesilia  dengan tatapan yang kini tertuju pada Yuta.

Seperti biasa. Tatapannya selalu tidak bersahabat.

Yuta tersenyum dan mengangkat tangannya, menyapa. Namun sia-sia karena Sesilia mengabaikannya. Gadis itu berlalu pergi meninggalkan lapangan.

"Sadar, Yuta. Sadar. Dia itu udah nggak mau sama lo," bisik Yuta pada dirinya sendiri.

Kepala Yuta mendongak, menatap langit sore yang mendadak kehilangan matahari. Mendung menyelimuti, menyembunyikan langit cerah yang tadinya masih biru. Yuta terdiam sejenak. Tangannya menengadah. Satu tetes air jatuh di atas telapak tangannya. Lalu disusul dengan guyuran deras, membuat Yuta berlari meninggalkan lapangan.

Hari ini Yuta membawa motor. Tapi entah kenapa, dia malah membiarkan motornya menunggu di parkiran sementara dirinya berteduh di bawah halte di seberang sekolah.

Yuta menepuk dahinya kala tersadar dengan kesalahan yang telah dia lakukan. Ingin kembali lagi ke parkiran, baju Yuta akan sepenuhnya basah. Kalau tidak kembali ke sana, siapa yang akan membawa motornya?

Jalan terakhir yang Yuta pilih adalah menghubungi Pak Dadi, satpam sekolah. Meminta tolong beliau agar mengamankan motor Yuta.

"Tuy!" Raka yang hujan-hujanan bersama Dani dan Liko menyapa Yuta. Ketiga laki-laki itu berlari dari arah gerbang sekolah dan berhenti di halte yang sama dengan Yuta.

"Kayak bocah lo bertiga," cerca Yuta.

"Emang masih bocah. Kita ini masih 17 tahun," sahut Dani malah membenarkan.

Yuta hanya menanggapi dengan gelengan dan senyuman tipis. Yuta menoleh, tak sengaja menemukan Sesilia duduk sendirian. Memeluk tasnya yang separuh basah.

Liko yang tau akan keberadaan Sesilia menyikut Yuta. Laki-laki itu memberikan tatapan genit.

"Apa?" bisik Yuta.

"Hei! Sesilia!" Dani menyapa lebih dulu. Dengan percaya diri berjalan menghampiri Sesilia. Raka mengekor di belakang manusia itu.

Yuta hanya bisa menghela napas. Apalagi yang akan bocah-bocah itu lakukan?

"Sendirian aja lo, Sil. Lagi nungguin hujan reda atau nungguin Atuy?" tanyanya sembari duduk di sebelah Sesilia. Dani di sisi kanan dan Raka di sisi kiri.

Sesilia menatap keduanya tidak suka. "Nungguin bapak lo jadi duda."

"Sil..." Tatapan Dani langsung sendu. "Bapak gue kan--"

"Sorry, gue nggak tau," balas Sesilia cepat. Pikirnya bapak Dani telah tiada.

"Bapak gue kan setia. Ya nggak mungkinlah jadi duda," sambungnya disusul tawa garing dari Raka.

Sesilia semakin menatap kedua laki-laki itu datar.

"Bercanda doang elah, Sil. Hidup lo serius amat," ujar Dani.

"Btw kok nggak bareng, Atuy? Dia bawa motor. Kalian juga tetangga, lumayan hemat ongkos." Raka menatap Yuta. Dia menjulurkan lidah ketika Yuta memberikan tatapan tajam.

Sesilia tidak menjawab. Dia justru beranjak bangkit. Bertepatan dengan itu, angkot yang mereka tunggu berhenti. Sesilia jelas tidak ingin membuang lebih banyak waktu lagi.

Tidak ingin ketinggalan, Dani, Raka dan Liko ikut naik. Tak lupa, Yuta juga mereka tarik untuk naik angkot bersama.

Suasana seketika canggung sebab Yuta duduk tepat di sebelah Sesilia. Sangat dekat karena angkot sore itu penuh.

Tidak ada yang bicara. Hening mendera.

Hingga tiba-tiba, angkot berhenti secara mendadak. Penumpang otomatis terdorong ke depan. Sesilia jatuh pada pangkuan Yuta karena di dorong kuat oleh ibu-ibu yang duduk di sisi kirinya.

Suasana semakin tidak mengenakan.

"Sorry," ujar Sesilia segera menjauh dari Yuta.

"Lo masih nggak mau jelasin kenapa waktu itu pergi?" Mata mereka kembali bertemu. "Seenggaknya bilang maaf."

Sesilia memutus kontak mata lebih dulu. Pertanyaan seperti itu adalah salah satu hal yang membuat Sesilia menjauh dari Yuta.

Yuta terkekeh miris. Dia sudah menduga Sesilia tidak akan menjawab.

"Sil," Yuta menyandarkan punggungnya pada kaca mobil. "Lo tau kan waktu itu gue ditinggal ayah?"

"Bisa nggak untuk berhenti bahas itu, Yut? Kenapa lo selalu mengungkit masa lalu yang kata lo menyakitkan itu?"

"Karena lo jahat, Sil!"

"Aiss, malah berantem," bisik Dani garuk-garuk kepala.

"Makanya berhenti ganggu gue, Yuta! Gue jahat! Gue udah bikin lo sakit!"

"Tapi gue nggak bisa sembuh, Sil. Lo seharusnya tau kalau obat dari sakit gue itu, elo," balas Yuta tak berdusta.

Sesilia tertawa sumbang. "Nggak usah ngomong picisan begitu, Yut. Geli gue dengernya."

Yuta tersenyum pedih. Ulu hatinya semakin sakit. Berbicara dengan Sesilia hanya membuatnya semakin tenggelam dalam lautan luka. Yuta semakin berdarah. Tapi bodohnya, Yuta tak berhenti mengejar gadis itu. Dengan bodohnya Yuta tak berhenti menuntut kepastian dan kejelasan dari Sesilia. Dan dengan sangat bodohnya, Yuta masih mencintai gadis itu.

"Gue udah nggak punya siapa-siapa, Sil. Ayah udah ninggalin gue dan memilih untuk hidup bersama keluarga lamanya. Gue punya mama, tapi semenjak ditinggal ayah, mama jadi sibuk dan jarang pulang." Yuta menoleh, menatap Sesilia. "Gue cuma punya lo, tapi ternyata juga sementara."

"Berhenti, Yuta."

Yuta menggelengkan kepalanya. "Gue nggak bisa. Gue nggak bisa melupakan satu-satunya perempuan yang ada dikala gue lagi susah. Lo udah nemenin gue dari lama, Sil. Lo udah jadi teman gue, jadi pendengar yang baik, jadi penenang yang berhasil bikin gue hidup sampai saat ini. Lo berjasa dan gue nggak bisa lupain lo dengan mudah."

"Yaudah, kita temenan aja. Lupain soal yang terjadi di masa lalu kita. Gue nggak bisa kalau lo terus-terusan kayak gini." Sesilia berkata lelah. Dia benar-benar lelah menghadapi Yuta.

Yuta terdiam sejenak. Matanya menatap ketiga sahabatnya yang pura-pura tidak mendengar obrolannya dengan Sesilia.

Lalu kembali menatap Sesilia. "Siapa sih yang jahat, Sil?"

Tidak ada sahutan.

"Siapa yang jahat diantara kita?"

Sesilia masih diam.

Yuta menghela pelan. Mama akan marah saat tau putra satu-satunya merendah sedemikian rupa pada perempuan yang jelas-jelas sudah tak menginginkannya.

Yuta benar-benar seperti sampah yang minta dipungut.








***










See you:)

Yuta dan patah hatinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang