Wangi white musk mengiring langkah seorang lelaki tampan yang tampak menawan dengan kaos polo serta celana jeans bermerk brand kenamaan, meski sepasang sandal jepitnya terlihat sedikit tak sepadan. Sebuah kamera terlingkar di leher, membidik objek demi objek yang dianggapnya indah mulai dari berbagai pemandangan desa hingga sisi kehidupan para penduduknya.
Namanya Mahendra Arfian Putra. Lelaki yang sudah mapan di usianya dengan pekerjaan mentereng sebagai detektif kriminal, cita-citanya sejak menempuh pendidikan hukum di semester pertama. Hendra—sapaan akrabnya, punya kehidupan asmara yang tak segemilang karirnya. Masa kuliah yang dipenuhi kegiatan gonta-ganti pacar ternyata tak berubah banyak di masa sekarang. Gonta-ganti pasangan kencan macam ganti celana harian sudah jadi makanan si Arfian. Playboy bejat yang tak segan melempar uang tepat di muka partner sex yang minta kejelasan hubungan.
Arah bidikan lensa kamera Hendra yang tadi bermula dari daerah pinggiran desa kini semakin melipir menjauh, mengarah ke tepi hutan dimana banyak penduduk ke sana sekedar mencari kayu bakar atau sayur dan buah serta binatang buruan.
"Itu rumah siapa, Pak? Kok jauh dari tetangga lain?" Satu pertanyaan si tampan layangkan pada Pak Sugeng yang sejak awal menemani.
Sang lelaki paruh baya yang raganya mulai renta dibabat usia mengikuti arah telunjuk Hendra. Matanya menyipit, menyesuaikan cahaya mentari yang terlalu terik di siang hari. "Itu rumahnya Bu Sari, Den. Memang sudah tanah keluarganya di situ dari dulu."
Hendra mengangguk. Mengarahkan kameranya pada rumah papan kayu yang dimaksud. "Beliau tinggal sendiri, Pak? Apa nggak takut ya, kan di dekat hutan?"
Senyum Pak Sugeng terkembang tipis. "Nggak lah, Den. Kan sudah terbiasa. Lagi pula Bu Sari hidup sama dua anaknya kok, Yudhis dan Hanung."
"Padahal tadi saya lihat banyak tanah kosong di dalam desa. Kenapa nggak coba tukar guling dengan tanah di sana ya, Pak?" Memang banyak tanya si detektif ini.
"Sudah warisan keluarga, Den. Dulu saja pernah ada yang menawar mahal tanah Bu Sari buat bikin villa sama wahana wisata di situ, tapi ditolak mentah-mentah. Padahal itu sudah atas rekomendasi Pak Lurah, Den."
Lagi-lagi Hendra mengangguk-angguk kepala. Reaksi sekedarnya untuk mengapresiasi informasi tak penting baginya dari si lelaki paruh baya.
"Ayo lanjut, Pak."
....
Sigit sudah duduk manis bersama Bagus di teras rumah bergaya klasik kolonial bercat dominan putih milik keluarga Rakasiwi. Tiga kursi yang melingkari meja bulat kecil dua di antaranya diisi oleh sepasang pemuda tersebut yang masih sama-sama diam.
Sang Wibawa Mukti sibuk memikirkan pemuda manis yang sempat akan ia tabrak kemarin, yang ternyata adalah asisten rumah tangga keluarga Bagus. Sedang Bagus sendiri masih mencurigai jika ada apa-apa antara lelaki pujaannya dengan si pembantu meski tadi Yudhis sempat menyangkal, "Maaf Den, mungkin Aden ini salah orang." Ujarnya pada Sigit saat tadi.
Hening antara Sigit dan Bagus dipecah oleh kedatangan Yudhis yang membungkuk sopan menyajikan dua cangkir teh dengan setoples kecil kue kering. Si pemuda masih menunduk, menyembunyikan wajah.
"Silahkan Den, saya permisi ke belakang."
"Tunggu!!!"
Deg.
Yudhis yang sudah berbalik badan membelakangi posisi Bagus dan Sigit mendadak menghentikan langkah karena suara Sigit. Ia tak menoleh, tapi rungunya dipasang tajam walau ada sedikit getaran segan di badan.
"Kamu, nama kamu Yudhis kan? Kamu masih inget saya? Saya Sigit yang......"
"Dari mana kamu bisa kenal pembantu macam Yudhis, Mas?" Potong Bagus menatap sengit bergantian antara Sigit dan punggung Yudhis yang masih enggan berbalik.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)
RomanceNiat awal Sigit hanya mengunjungi kediaman Eyang Putrinya yang tinggal seorang saja. Namun benang takdir membawanya pada kisah rumit bersama Yudhis, Bagus dan Hendra. Pada Yudhis cintanya bertaut. Namun tanggungjawab yang diembankan Hendra di pundak...