Not A Fairy Tale

595 67 16
                                    

Siluet lelaki berkaos oblong dan celana pendek berdiri menyambut pendar silau lampu scrambler bike Sigit Wibawa Mukti yang baru kembali dari rumah sang pujaan hati. Hembus asap rokok di tangan Mahendra— si lelaki, membaur dengan asap knalpot yang bak riuh kabut di tengah gelap gulita.

"Belum tidur, lo?" Sigit turun dari motornya membuka helm.

"Gue yang harusnya nanya nggak sih? Sampai jam segini di rumah Yudhis, ngapain aja?" Tipis tarikan sudut di ujung bibir Hendra tak bisa membuat Sigit langsung paham apa maksud sahabatnya mengungkap tanya demikian.

Dua bahu sang pengacara terangkat acuh. "Diajak makan sekalian sama Ibunya, terus ngobrol lama termasuk soal juragan Yadi sama proyeknya itu. Lo mikir apa?"

"Huh?" Agaknya Hendra tak suka dengan nada bak mengejek yang dilontarkan Sigit. Alisnya menukik dengan kerut di dahi.

"Gue bukan lo yang lebih ngedepanin nafsu dari pada perasaan."

"Git, lo—"

"Apa??? Yang gue bilang bener kan? Kalau lo mikir perasaan bukan nafsu, lo nggak bakal ngerusakin Bagus, bikin dia hamil di luar nikah begitu!!" Oktafnya naik, menatap sengit lelaki sejawat yang biasanya jadi teman akrab.

Balas si detektif tak kalah keras. Suaranya ditekan, walau masih jaga agar tak meninggi takut menganggu istirahat Eyang Kinanti. "Loh kok lo jadi nyolot, Git??? Cemburu lo?? Masih suka sama Bagus, hah??"

"Bajingan!!!"

Dua-duanya terpancing emosi. Sigit yang melayangkan pukulan lebih dulu mengenai dagu Hendra yang sedikit oleng karena tanpa persiapan.

Sang Arfian Putra tak tinggal diam. Dia berdiri tegak lagi mengusap dagu yang lumayan perih. Kedua tangannya mendorong dada Sigit teramat kuat, membuat punggung sang Wibawa Mukti membentur batang pohon mangga di halaman rumah Eyang Kinanti. Bagian kerah jaket jeans belel Sigit dirair kuat bersiap untuk melayangkan pukulan balas sebelum dengan sigap Sigit malah menendang perutnya sampai jatuh terkapar.

Giliran Sigit yang menang angin. Langsung disergapnya Hendra yang masih tergeletak memegangi perut. Bagaimana tak sakit, sol sepatu Sigit begitu keras. Perutnya pasti punya luka, bukan memar saja.

"Nyesel gue percayan Bagus sama lo, bajingan!!!" Sejengkal lagi kepal tangan Sigit membentur lagi wajah rupawan Hendra, sebelum —

Cklek...

"SIGIT??!!!! KAMU APAN NAK HENDRA???"

Berakhir dengan malam panjang penuh ocehan sang Eyang. Duduk bak orang bodoh di ruang tamu, melihat Neneknya mengobati luka-luka di tubuh Hendra sambil terus mengoceh panjang lebar menasihati sekaligus memarahi cucunya sendiri atas kecerobohannya tak bisa menahan emosi.

"........ tapi Bagus hamil, Eyang."

Jemari keriput yang sedang mengoleskan kasa yang sudah dibubuhi antiseptik ke dagu Hendra tiba-tiba berhenti bergerak. Ujar tak disangka Sigit di tengah bagiannya memberi pembelaan membuatnya menoleh mencari penjelasan lebih dari si pengacara.

"Bagus kenapa tadi kamu bilang?"

Sedang Sigit yang merasa kelepasan membuka rahasia, langsung bungkam seribu bahasa. Matanya gusar melirik Hendra yang menghembuskan panjang nafasnya, menunduk pasrah akan tingkah bodoh sahabatnya.

"I...itu Yang, anu.... Bagus......" Kenapa di saat seperti ini kemampuan bicara Sigit selalu bagai hilang ditelan bumi?

"Hamil?" Pancing Eyangnya.

Nyali Sigit menciut di hadapan wanita ibu kandung Ayahnya. Ikut menunduk selayak Hendra yang sudah hilang muka. Ia mengangguk samar.

Kasa di tangannya jatuh. Nenek Kinasih menutup mulutnya dengan jemari. Netranya melirik satu persatu dari dua pemuda di hadapan yang ia sangka sebagai pelaku utama.

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang