Positive

905 85 23
                                    

Suara gemericik air perasan cucian menetes ke atas permukaan tanah kering di belakang rumah sederhana Yudhistira. Beberapa tambang terikat horisontal sudah terisi cucian basah menyisakan beberapa tempat yang masih kosong untuk si manis menjemur pakaian-pakaian pelanggannya yang sudah dicuci.

"Kok tarik nafas terus? Kenapa?" Itu suara Hanung yang bertanya.

Ini hari minggu dan si anggota keluarga yang libur sekolah sudah membantu kakaknya mencuci di sungai semenjak pagi buta. Memperhatikan bagaimana rupa jelita sang Yudhistira mendesah tak jemu dengan raut kecewa seolah kehilangan arah dalam perjalanannya.

Yudhis menggeleng. "Capek aja."

"Orang dari tadi gelisahnya. Kenapa sih? Kangen Mas-mas yang biasa nyamper ke sini itu ya? Siapa namanya? Sigit?"

Skakmat. Yang lebih tua mendelik menunjukkan keterkejutannya. "Dih, ngarang!! Lagian kok kamu tau Mas Sigit?" Seingat Yudhis Sigit selalu berkunjung ketika Hanung sedang bersekolah. Harusnya mereka belum saling kenal kan?

Sang adik terkekeh melihat tingkah kakaknya. Cucian di tangan sengaja dikibas keras hingga beberapa tetes kecil airnya mengenai tubuh di sisi kirinya, membuat Yudhis hampir mengumpat kalau tak ingat nanti Ibunya bisa mendengar dari dalam rumah. "Ibu yang bilang."

Ck, Ibunya kenapa tidak bisa jaga rahasia?

"Lah kok diem? Bener ya berarti kangen Mas Sigit?" Tambah Hanung dengan tawa mengejek.

"Tau ah, nyebelin kalian semua." Kalian, karena Sigit masuk ke dalam hitungan. Matahari sudah meninggi tapi tak jua menampakkan diri seperti kemarin-kemarin. Memangnya kemana gerangan si Wibawa Mukti?

Hanung Nugraha tertawa saja tanpa berniat kembali menanggapi. Keduanya kembali larut dalam kesibukan menjemur pakaian sampai sebuah suara bariton menginterupsi dari belakang.

"Hei, hadap sini dong."

Otomatis Yudhis dan Hanung menolehkan kepala bersamaan. Dan...

Click..

Sebuah lensa berkilat berhasil membidik gambar elok interaksi mereka.

Yudhis tersenyum, sedang Hanung menatap penuh hipotesa. Menelisik pemuda baru datang yang berpenampilan tampan mengenakan kaos lengan panjang dengan celana kargo dan sandal gunung serta kamera melingkar di lehernya.

"Siang Yudhis, siang juga emh ........."

"Hanung, Mas. Adeknya Kak Yudhis. Mas ini yang namanya Mas Sigit ya? Wah kebetulan banget tuh Kak Yudhisnya udah kepalang kangen kayaknya dari tadi gelisah nengok kanan kiri terus nyariin Mas." Cerocos Hanung panjang lebar tanpa menggubris delikan Yudhis ke arahnya meminta untuk diam.

Si pemuda kota tersenyum menawan. "Oh iya, pagi Hanung. Tapi sorry gue bukan Sigit, gue Hendra temennya."

Si termuda menutup mulutnya, bergantian melirik Hendra dan Yudhis merasa salah menebak. "Ah, o..ow... jadi aku salah orang ya? Hehe..."

"Makanya kalau ngomong pakai rem jangan nyerocos aja terus. Dasar!!" Dengan gemas Yudhis cubit lengan atas adiknya membuat si bocah SMA sedikit meringis main-main.

"Iya, iya maaf. Galak banget ih."

"Biarin. Oh Mas Hendra ayo masuk biar saya buatin minum." Ajak Yudhis pada Hendra yang kini mengamati hasil jepretannya.

Sang Arfian mendongak. "Nanti aja Dhis nggak apa-apa. Lagian aku kesini juga sambil nyari-nyari objek buat dipotret kok."

"Oh gitu ya Mas....." Kata-kata Yudhis menggantung, seperti tak fokus. Memandangi belakang punggung Hendra seolah mencari sesuatu.

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang