Desire

714 74 23
                                    

Suara mesin motor yang menderu keras hingga berhenti di halaman rumah membuat Sari dan Hanung berbondong keluar untuk melihat. Bukan apa, rumah mereka yang letaknya jauh dari perkampungan serta keadaan hari yang mulai petang membuat teramat jarang kendaraan hilir mudik apalagi mampir.

"Loh, siapa Dhis?" Heran si wanita paruh baya tak sempat memperhatikan gerangan siapa pemilik motor yang sudah melesat menyisakan debu asap ketika ia dan bungsunya datang.

Yudhistira, si anak pertama awalnya tersipu senyum sendiri hingga menyadari ada entitas lain menyusul membuatnya buru-buru menyembunyikan rona di pendar wajah ayu.

"Anu Bu, Mas Sigit cucunya Nenek Kinasih." Jawab Yudhis sambil menunduk malu-malu.

"Oh, yang orang tuanya tinggal di kota itu ya?"

Sang Angger mengangguk.

"Kok bisa dia nganterin Kakak?" Kali ini si anggota keluarga termuda yang angkat bicara. Hanung sempat mengangkat sebelah alisnya menyaksikan reaksi menggemaskan sang kakak.

Yang ditanya menggaruk pelipisnya dengan mata melirik sembarang arah tak mau tertangkap sang adik jika ia menyembunyikan sipu. "Eung, itu..... disuruh Nenek Kinasih. Udah malem katanya."

Hanung hanya berdehem kecil sebagai respon apa adanya. "Ganteng nggak Kak?"

"Ganteng!! Eh, aduh maksudnya.........."

Belum sempat Yudhis membungkus rasa malu karena keceplosan menjawab semangat pertanyaan Hanung, si adik dan Ibu mereka sudah tertawa lebar puas mengerjai si anak pertama.

"Hahaha... pantesan mukanya merah gitu. Habis diboncengin orang ganteng ternyata Bu."

"Aduh aduh... sudah besar ya anak sulung Ibu ini ternyata."

Bukannya hilang, merag di wajah Yudhis malah semakin matang. Dengan sedikit hentak di telapak kaki, ia masuk melewati dua yang lain sambil mencibir kesal. "Ishh apaan sih kalian?? Aku masuk ah, udah malem takut ada setan!!"

"Ya Kakak setannya!" Seru Hanung kemudian menyusul Kakaknya masuk. Meninggalkan Sari Wulandari yang mengulum senyumnya, diselipi rasa khawatir dengan tatap sendu ke arah pintu kayu reyot yang dilewati putra-putranya.

"Semoga kelak ketika kalian jatuh cinta, kalian akan jatuh untuk orang yang tepat, Nak."









....











Duduk di salah satu bangku panjang di tepian trotoar yang mengitari alun-alun, sepasang sejoli menghabiskan waktu mereka dengan obrolan-obrolan random sambil menikmati berbagai jajanan khas pinggir jalan yang dibeli Bagus dengan Mahendra yang membayar.

Semenjak sore kanan-kiri dipadati banyak penjaja kudapan baik yang mangakal dengan tenda, gerobak atau wara-wiri dengan sepeda dan motor mereka. Memanja pengunjung yang datang dari berbagai kalangan. Ada anak-anak dengan orang tua mereka, para muda-mudi yang bergerombol  dengan teman main, hingga para sejoli kasmaran yang berusia remaja sampai dewasa termasuk Bagus Dwi Rakasiwi dan Mahendra Arfian Putra yang memadu kisah bak tokoh utama cerita romansa meski nyatanya status mereka hanya teman yang baru kenal saja.

Jajan sudah habis, Bagus digandeng Hendra ke arah motor si tampan terparkir. Melirik kanan-kiri sisi motor sudah tak sepadat tadi, banyak pengunjung yang telah beranjak karena larut hampir menjelang.

"Hampir jam sebelas ternyata." Ujar Hendra setelah melirik arloji di tangan kirinya. Beralih ke arah Bagus, ia layangkan sorot kekhawatiran. "Nanti dimarahin orang tua nggak? Biar aku yang ijin ke orang tua kamu di rumah nanti ya?"

Si lelaki manis malah melotot tak suka. "Ih, udah mau pulang?? Nanti dulu sih, Mas."

"Udah jam sebelas loh, Gus. Apa nanti nggak dimarahin Ayah kamu?"

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang