Fallin' In Love

759 71 11
                                    

"Ini uangnya ya, Nak Yudhis. Bilang Ibumu, Nenek terimakasih sekali." Lipatan uang kertas diserahkan Eyang Kinasih pada Angger Yudhistira dengan senyuman ramah.

Sang pemuda menunduk hormat, sedikit kikuk, bukan dengan si wanita baya melainkan pada presensi cucu lelakinya yang semenjak Yudhis tiba sudah menyambut dengan kulum senyum yang tak luntur dari raut rupawannya. "Baik, Nenek. Saya mohon pamit, sudah gelap takut kemalaman di jalan."

Gelagat maju akan mencium tangan sang wanita malah jemari kecil itu ditahan menimbulkan gerap tanya lewat tatapan mata.

"Biar diantar sama Sigit aja ya?" Tawar Kinasih masih dengan senyuman teduhnya.

Seketika tubuh Yudhis menegang, tak menyangka. Melirik kaku ke arah Sigit Wibawa Mukti yang berdiri tak jauh darinya, si pengacara malah mengangguk seolah mengiyakan.

"Mm.. Maaf, Nek tapi biar saya sendiri saja. Takut merepotkan Nenek dan Mas Sigit." Si manis hampir menarik jemarinya dalam genggam Eyang Kinasih sebelum tangan keriput itu menahannya lagi, tak mau melepas.

"Tadi kamu bilang sudah gelap kan, Nak? Bahaya kalau berjalan sendirian. Apa lagi jalan ke rumah kamu lewat pinggiran hutan."

"Tapi Nek....."

"Nggak usah pakai tapi, Yudhis. Toh Sigit saja mau kok. Iya kan, Git? Eh, atau mau sama Nak Hendra saja?"

Hendra yang sedang menikmati minum lewat botol plastik di depan kulkas langsung tersedak kecil begitu namanya diikutkan dalam konversasi. "Eh..."

"Biar sama Sigit aja, Eyang. Hendra mau ada acara habis ini." Tegas, kilat. Bukan Hendra, tapi Sigit yang terburu melontar alasan penolakan. Mau bagaimana pun ia tak akan melewatkan kesempatan mengantar pulang Yudhis kali ini melayang begitu saja.

"Bener Nak Hendra?"

Yang ditanya nyengir kuda. Satu sisi mendukung langkah berani Sigit, tapi di sisi lain cukup segan menolak permintaan bantuan dari Eyang Kinasih. "Hehe, bener Eyang."

Toh memang malam ini ia ada acara yang telah dijanjikan bersama Bagus di alun-alun desa oleh si pemuda manis.

"Nah, udah ya jadinya saya yang antar. Ayo." Tak lagi buang waktu, mengambil kunci motor di saku celana jeans depan, Sigit keluar lebih dulu menuju teras meninggalkan Yudhis yang kehabisan kata untuk menolak niat baik si tuan rumah.










....












Mematut diri sekali lagi di cermin besar yang menempel di pintu almari ukir kayu jati, Mahendra membetulkan kerah kemeja flanelnya yang sedikit terlipat tak rapi.

"Perfect.." gumamnya puas menyemprotkan parfum sebagai sentuhan terakhir sebelum bersiap memakai sepatu.

Kaos putih polos dibalut kemeja flanel kotak-kotak biru yang tak dikancingkan sama sekali, celana jeans yang warnanya pudar dengan robekan tak simetris di kedua lututnya, disempurkanan dengan converse hitam yang tak jarang ia pakai menyamar ketika bertugas di lapangan.

Mana sangka pemuda gagah itu adalah seorang detektif handal dengan berbagai macam kasus sudah terpecahkan olehnya? Gayanya serupa mahasiswa tingkat akhir yang kegiatannya sana sini tebar pesona.

Dompet sudah masuk ke dalam saku celana. Tinggal smartphone hitam yang ia letakkan di meja nakas bersama kunci motor dan korek api serta sisa rokok yang sempat ia nikmati bersama Sigit sore tadi.

Ketika smartphone diambil, bersamaan pula benda pipih tersebut menampakkan panggilan dengan deret nama yang tak ingin ia angkat sama sekali.

Galuh_Moonlight

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang