Setapak basah sisa hujan pagi buta lalu menyapa langkah pelan kaki berbalut sandal jepit rumahan Angger Yudhistira. Pria manis yang baru tiba semalam setelah perjalanan panjang dari kota tempatnya bekerja mencari makan, kembali ke desanya barang sejenak setelah bertahun tak pulang.
"Yudhis..." Ia menoleh, mendapati Sari Wulandari sudah berdandan rapi menenteng keranjang besar sepagi ini.
"Ibu mau kemana?"
"Ke pasar kaya biasa. Sarapan sudah Ibu siapkan di atas meja, ya. Ibu pergi dulu."
Ah, Yudhistira sepertinya lupa jika Ibunya sudah hampir dua tahun ini menekuni pekerjaan berjualan lauk matang di pasar desa. Berhasil menyewa sebuah kios kecil dari uang kiriman sulungnya, si wanita mengelola uang pemberian Yudhis dengan begitu lihainya.
Tersisa ia sendiri di rumah, si manis memutuskan berjalan-jalan sejenak. Menengok sekitar, memperhatikan perubahan-perubahan desa tempat tinggal yang telah bertahun-tahun tak pernah disambanginya.
Semakin banyak rumah berjajar di jalanan menuju hutan yang dulu hanya tanah lapang. Sepi desa dengan penduduk bersahaja semakin ramai banyak perubahan.
"Aduh." Sang Angger sejenak berhenti. Kakinya terjerat semak pakis yang rindang di tepi jalan.
Mengurai lilitan tangkai pakis, sesuatu dalam palung hati bagai tercubit diingatkan tak sengaja dengan seorang yang pernah mengukir sakit di hatinya. Seorang yang jadi penyebab ia tak pulang bertahun lamanya. Ah, bagaimana kabar lelaki itu sekarang?
Angger Yudhistira menghembus kasar nafasnya. Kembali berjalan melangkah tak tentu arah mengikuti kemana kakinya membawa.
Setapak lembab berganti rerumputan basah dan kerikil bebatuan. Gemerisik aliran air menyapa pendengaran penanda ia hampir sampai ke arah sungai dimana dulu ia sering mencuci pakaian.
Belum juga panorama sungai menyapa indera, samar suara tangis bocah lebih dulu mengusik benaknya. Berdengung, tak mau berhenti.
Ketika langkahnya dipercepat khawatir, ditemukannya sumber suara yang ternyata berasal dari seorang bocah perempuan yang menangis di bangku kayu yang menghadap langsung ke aliran sungai.
Sejak kapan ada bangku disana? Seingatnya dulu tak ada. Ck, bukan waktunya memikirkan hal tersebut, Yudhistira. Si bocah perempuan itu lebih butuh perhatianmu sekarang.
"Adek, kok nangis sendirian? Kenapa?"
Si anak yang ia kira seusia TK mendongak dengan wajah basah ketika merasa ada orang lain duduk di sampingnya. Lalu menangis lagi seolah tak peduli karena wajah Yudhis yang sama sekali tak ia kenali.
"Huaaaa... hiks.. Ayah..."
Yudhis mendelik panik. "E eh, aduh kok malah makin kenceng nangisnya?"
Berusaha makin dekat, si manis menghapus lelehan tangis di wajah ayu si bocah. Hidung mancung dan mata tajamnya entah mengapa terasa tak asing di ingatan.
"Huuaa, kakinya hiks kotor. Takut Ayah..."
Si pria cantik melirik kaki si bocah yang tampak kotor tanpa alas kaki. Sisa tanah basah mengering menempel di permukaan kulit putih.
"Adek kok nggak pakai sandal?" Melihat Yudhis berjongkok di hadapannya dan membersihkan kakinya yang kotor tanpa jijik, si kecil menghentikan tangis. Menatap dengan pandangan sendu miliknya.
"Sandalnya hanyut, Kak. Kakinya jadi kotor."
"Ah.. begitu?"
"Nanti kalau Ayah tau kaki Arimbi kotor, terus Ayah marah gimana?" Cicit si bocah setelah menyelesaikan singkat cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)
RomanceNiat awal Sigit hanya mengunjungi kediaman Eyang Putrinya yang tinggal seorang saja. Namun benang takdir membawanya pada kisah rumit bersama Yudhis, Bagus dan Hendra. Pada Yudhis cintanya bertaut. Namun tanggungjawab yang diembankan Hendra di pundak...