On The Hill

672 82 21
                                    

Angger Yudhistira tidak pernah melintaskan sedikit pun tentang kejadian hari ini dalam lekat pikiran. Ia yang datang ke rumah Rakasiwi semenjak pagi untuk bekerja seperti hari-harinya biasa, tiba-tiba terjebak dalam ajakan tak terduga Mahendra yang menyeretnya dalam pusaran hubungan tak tertebak antara ketiga pemuda. Mahendra, Sigit dan Bagus.

"Yudhis nggak ngantuk kan?" Di sela deru mesin motor yang meraung di jalanan desa, suara Hendra yang mengemudi di depannya mengusik indera rungu sang Yudhistira.

"Nggak, Mas." Cicitnya sungkan. Ia duduk sengaja agak jauh di jok belakang, segan untuk berdekatan dengan punggung si pemuda Arfian.

Hoodie biru muda yang dipinjamkan Bagus karena terpaksa, ia mainkan ujung talinya. Sesekali membetulkan letak tas ransel besar milik sang Tuan pula yang isinya beberapa perbekalan. Posisinya jadi terlihat lucu. Hendra dengan tas berisi tikar yang ia posisikan di depan agar tak sempit untuk Yudhis duduk, dan Yudhis yang malah memojok ke belakang dengan tas ransel pula di sana ia letakkan.

Sigit dan Bagus? Tentu saja melaju lebih dulu di depan dengan sepasang lengan si manis melingkar di pinggang Sigit. Pun jua tak jarang wajah si tunggal Rakasiwi diistirahatkan di punggung lebar sang Wibawa Mukti.

"Masih jauh ya?" Entah memang niat bertanya atau Hendra hanya mencoba menghilangkan canggung antara mereka.

Netra jernih Yudhis menengok kanan-kiri jalan. Memperhatikan sekitar yang mulai berganti dari jalan setapak desa dengan rumah-rumah penduduk di tiap sisinya, kini berangsur menjadi jalanan di antara kebun lalu mengarah pada hutan dengan pohon-pohon lebat.

"Sedikit lagi, Mas. Habis keluar hutan nanti ada bukit luas."

Dari kaca spion di depan, Hendra melirik si lelaki manis di boncengan. Meski sedikit menunduk namun bisa Hendra lihat jelas bulu mata lentik yang terpatri cantik. Pun elok wajah Yudhis yang indah alami dengan hidung mancung, bibir tipis namun penuh dan titik hitam sangat kecil di bagian bawah mata kanannya. Sempurna.

Pantas Sigit berani melawan takdirnya -batin Hendra tersenyum mengingat tingkah sang kawan belakangan

Tepat yang dikatakan sang Yudhistira. Tak lama mereka keluar dari redup hutan dengan nuansa dinginnya, hangat melingkup mana kala hamparan bukit luas menyambut. Gundukan-gundukan tinggi dengan rerumputan dan rindang alang-alang membuat sinar mentari menyorot tanpa halang.

Motor scrambler hitam dan biru masih terus melaju. Menuju titik tertinggi yang menanti di area tersebut.

Sampai ketika motor Sigit menghentikan laju, motor Hendra pun mandeg di situ. Mereka turun, sama-sama membantu seorang manis dalam boncengan. Mengitar pandang, menghela nafasnya dalam. Menikmati nuansa sahaja alam yang beruntungnya belum ada pengunjung lain selain mereka.

"Jadi ini yang namanya Puncak Lintang?" Hendra bersuara tanpa mengalih pandang dari jejer atap rumah-rumah di desa yang terlukis cantik dari atas sana. Bak gores kuas sang seniman ternama, warna yang tercipta teramat memanjakan mata.

Bagus ikut berdiri di sisi si pemuda Arfian. Berjarak satu meter, si Rakasiwi menoleh dengan senyuman. "Begitulah, Mas. Kalau ke sini waktu malam akan kelihatan jelas bintang-bintang di langit. Makanya namanya Puncak Lintang."

Sang detektif melirik membalas senyuman. Melemparkan tas berisi tikarnya ke belakang, memberi kode pada Sigit agar ia yang mengerjakan.

Di belakang keduanya Sigit dan Yudhis berdiri saling buang muka. Tak sepenuhnya karena sesekali Sigit melirik, mencuri pandang pada sang Yudhistira.

"Kita gelar tikarnya sekarang aja?"

"O..oh, boleh, Den. Mari biar saya saja." Ia hanya pembantu, dan Yudhis ingat itu. Tentu saja di pikirannya ia diajak kemari hanya untuk melayani Bagus dan kedua temannya.

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang