Suara jangkrik berpadu dengung bersama gemerisik angin malam yang menusuk tulang. Megah sabit di kanvas angkasa berpendar sendirian tanpa pengawalan bintang.
Dalam gubuk kecil di tengah persawahan, Bagus Dwi Rakasiwi duduk sendirian. Membiarkan kakinya menggantung menyentuh ujung rerumputan yang mulai panjang.
Kepalanya mendongak, menatap elok rupa rembulan yang semakin malam semakin hilang di balik awan hitam. Salah satu usaha menghalau basah air mata yang sewaktu-waktu bisa jatuh jika ia menundukkan kepala.
Apa Hendra bakal terima?
Pikirannya hanya tertuju pada satu nama. Nama lelaki yang kemudian tak lama muncul bersama suara mesin motor yang perlahan mati diparkirkan di pinggir sawah, jauh. Langkah Mahendra yang melewati pematang sempit terdengar berisik di tengah sepi yang melingkupi.
"Sayang..."
Bagus tak menolehkan kepala. Sama sekali tak bergerak atas panggilan dari Hendra yang biasanya bisa menggelitik ulu hatinya.
Hela nafas berat terdengar dari si tampan. Merasa ada yang kurang beres, memilih ambil duduk di sisi Bagus lalu ikut menatap bulan yang sejak tadi menyaksikan interaksi mereka.
"Kenapa tadi nggak mau dijemput di rumah kaya biasa?"
"Ada Ayah sama tamunya. Nggak enak." Suara Bagus teramat kecil, mencicit. Masih tak menengok sama sekali.
"Sampai semalam ini?" Wajar Hendra sedikit kaget, ini sudah jam setengah dua malam dan Lurah Tejo masih menerima tamu dengan jamuan?
Yang lebih kecil mengangguk. Bergerak lamban menoleh pada Hendra menunjukkan raut sendunya.
"Hei, kenapa? Kamu sakit? Kecapean ya ngurus rumah?" Entah memang tulus atau kelewat fasih mengemban predikat playboy, Mahendra berujar lembut menangkup wajah manis Bagus.
Dua pasang retina beda warna bertemu dalam getar tak kasat mata.
Tes ...
Lolos juga akhirnya pertahanan sang Rakasiwi. Tanpa suara ia biarkan ibu jari Hendra mengusap wajah ayunya.
"Bagus kenapa nangis? Aku ada salah? Atau ada yang sakit badannya?"
Menggeleng. Suara bariton sang detektif malah membuat air matanya makin deras mengalir.
"Hei, ssssstttt jangan nangis sayang. Aku nggak suka lihat kamu sedih." Dibawanya si manis dalam rengkuhan. Diusap punggung dan kepala belakangnya dengan gerakan konstan lembut.
Kini Bagus terisak. Suaranya menyayat bersama hembus angin malam yang menerbangkan helai rema Hendra. Jemari mungil menggenggam erat kain kemeja si tampan bagian pinggang, mencari penguatan.
"Mas Hendra......." Suara kecil di sela isakkan.
"Hm?"
"Aku........ aku hamil."
Deg.
Pelukan dilepas seketika. Mereka saling berhadapan dengan tangan Hendra tak lepas dari kedua lengan Bagus, mempertahankan posisi mereka.
Tatap sedih, kecewa, takut, sendu dan pilu membaur jadi satu. Sama-sama diam membisu, saling butuh waktu.
....
Satu keranjang anyaman bambu menemani pagi mendung Angger Yudhistira menyusur tepian bukit di yang tak jauh dari kediamannya. Mengumpulkan petik demi petik sayur pakis, yang rencananya nanti ia jadikan teman makan siang pelengkap ikan gabus yang akan digoreng goreng hasil tangkapan Hanung sore kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)
RomanceNiat awal Sigit hanya mengunjungi kediaman Eyang Putrinya yang tinggal seorang saja. Namun benang takdir membawanya pada kisah rumit bersama Yudhis, Bagus dan Hendra. Pada Yudhis cintanya bertaut. Namun tanggungjawab yang diembankan Hendra di pundak...