Empty Seat

712 85 15
                                    

Deru mesin motor yang berangsur mati mengisi sepi di halaman rumah Rakasiwi kala senja siap menampakkan diri. Bersama kemerahan senja di kanvas angkasa, Sigit Wibawa Mukti dan sahabat baiknya— Mahendra Arfian Putra bergerak kompak turun dari motor masing-masing, kemudian melepas helm dan mengusak rambut yang sempat kurang tertata.

"Gede banget rumahnya."

Celetukan Hendra yang menatap lurus ke arah pintu utama rumah yang masih tertutup sempurna membuat Sigit menoleh padanya. "Kaya rumah lo nggak gede aja?"

"Maksud gue buat ukuran rumah di pedesaan kaya gini, rumah ini tergolong gede Git. Jangan samain kayak standar rumah di kota dong." Sambil menjawab sambil mata Hendra jelalatan entah mencari apa.

"Namanya juga rumah kepala desa." Cuek sang pengacara. Melangkah maju duluan untuk mengetuk pintu sebelum satu atensi datang dari luar halaman mengurungkan niatnya memberi salam.

"Yudhis.." gumam Sigit. Jelaga hitamnya tak lepas dari si pemuda manis yang datang dari luar menenteng kantung keresek hitam entah berisi apa.

Hanya mengenakan celana gombrong di bawah lutut dan kaos lengan panjang, sosok Yudhis yang menunduk setelah menyadari ada tamu di rumah sang Tuan justru mengundang tatap telisik lebih dalam baik dari Sigit maupun Hendra.

"Dari mana, Yudhis?" Sigit bertanya ketika Yudhis akan membelok arah ke pintu belakang, mungkin lewat dapur.

Si manis sedikit mendongak, mengangkat keresek tak terlalu besar yang ditentengnya dengan senyum dipaksakan. "Dari warung Den, disuruh Nyonya. Sebentar Den, saya panggilkan Den Bagus di dalam."

Jelma manis tersebut raib di balik kelok samping menuju belakang. Meninggalkan senyum miring di wajah Hendra yang menyadari ada perubahan raut dari riak muka sang Wibawa. "Cantik, heh? Sampai melotot begitu lo ngeliatinnya."

Sigit yang merasa tertangkap basah terburu menggeleng, menepuk kasar punggung sang detektif kawan baiknya. "Ngaco lo!!"

Reaksi yang persis sesuai prediksi Hendra. Sok menolak, sok jual mahal tapi dalam hati tengah berbunga, penuh getar tak biasa. Khas seorang Sigit si lelaki sok dingin yang minim pengalaman soal cinta.

Selang detik pintu di depan mereka terbuka lebar oleh rupa menawan seorang pemuda yang terlihat ayu dengan cardigan cokelat yang membalut kaos sewarna tulang. Senyumnya manis terkembang, apalagi mendapati Sigit yang datang.

"Selamat sore, Mas Sigit!! Kok nggak bilang Bagus dulu kalau mau datang?"

Si pria cantik masuk dalam pelukan Sigit dengan manja. Belum menyadari ada satu entitas lain yang menyaksikan kemesraan mereka.

"Sore, adik kecil. Tadi Mas sekalian lewat habis beli bensin. Ayah dan Ibu ada?"

Pelukan direnggangkan, lepas. Bagus terkesiap melihat Sigit tak datang sendirian. Malu rasanya.

Sang tunggal Rakasiwi menunduk sopan pada sosok pemuda yang datang bersama Sigit. Tersenyum ramah, memunculkan sifat alami masyarakat setempat yang lembut dan bersahaja. "Ayah baru pulang, Mas. Kalau Ibu sedang masak di dalam."

"Oh begitu? Berarti aku datang di waktu yang pas." Sigit terkekeh. "Ngomong-ngomong, ini Hendra temenku dari kota."

Hendra yang merasa jadi pusat perhatian mengulurkan tangan ke arah si manis, menawarkan perkenalan dengan bonus senyuman tampan. "Mahendra, temannya Sigit. Panggil Hendra saja."

"Bagus, Mas. Nama saya Bagus." Si manis tersipu. Jemarinya bergetar dalam sentuh telapak lebar Hendra yang mengelusnya lembut.

"Ekhem!!"

Dehem Sigit yang dibuat-buat memaksa dua pemuda yang tengah bertaut hasta saling melepas, menjauhkan raga.

Sang pengacara cemburu?

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang