Sigit Wibawa Mukti berdiri terpaku di depan rumah besar keluarga Rakasiwi. Obsidian pekat menyendu berat menyaksikan bagaimana rumah si Kepala Desa yang dulu dielu-elukan warga kini mulai terbengkalai tak terawat.
Rerumputan mulai panjang di halaman. Daun kering berserakan saling tumpang. Dan seorang Ibu yang mengharu pilu memeluk putra semata wayangnya yang menangis hancur.
"Jangan Nak, jangan digugurkan....." Samar diterpa tangin, suara Budhe Ning tertangkap pendengaran Sigit. Si wanita masih merengkuh erat sang buah hati yang menggeleng berkali.
Mengapa keduanya beradegan dramatis di teras yang terbuka?
"...tidak, Bu. Aku harus gugurkan bayi ini." Disusul tangis, raung menyayat hati.
Pelan tapi pasti Sigit mendekat, menggesekkan langkah dengan dedaunan kering yang berisik terinjak. Membuat dua entitas di teras mulai menyadari akan presensinya yang hanya jadi penonton semenjak tadi.
"Nak Sigit..."
Pelukan dilepas. Bagus Rakasiwi menghapus kasar air mata di pipi. Keduanya bangkit untuk menyambut Sigit, berupaya keras menutupi lara yang sama-sama diderita.
"Selamat siang, Budhe. Maaf saya mengganggu....."
"Ah, tidak kok." Belum apa-apa kalimatnya sudah dipotong si wanita paruh baya. "Kata siapa mengganggu? Budhe senang kamu main kesini. Iya kan Bagus?"
Yang ditanya sedang menunduk, menyembunyikan diri di balik punggung Ibunya. Bak anak itik yang mencari perlindungan sang induk, entah mengapa sisi Bagus yang ini tampak menggemaskan di mata Sigit.
"I..iya. Ayo duduk Mas."
Masing-masing menatap kikuk setelah sama-sama duduk di kursi teras yang sedikit berdebu. Jika dulu ada Yudhis yang selalu mengelapnya di kala pagi, kini kursi itu malah tak pernah tersentuh saking jarangnya tamu yang datang dan tak ada yang senggang membersihkan.
"Ibu ambilkan minum dulu ya."
Istiwiningsih sudah akan berdiri jika Sigit tak mencegah. "Tidak usah, Budhe. Saya kemari cuma mau ketemu kalian. Bagaimana kabar Bagus Budhe?"
Si pemuda manja masih menunduk, memainkan ujung kemeja yang digunakan. Sedang Ibunya melirik gelisah, kurang fokus.
"Baik kok Nak, kami baik." Sorot mata tak senada dengan ujar kata.
Sepi sejenak melingkupi. Membawa suasana tak nyaman karena masing-masing bertarung dengan apa yang dipikirkan. Sampai Sigit kembali bersuara bersama gemerisik suara dahan yang tertiup angin.
"Budhe maaf, tadi saya sempat tidak sengaja dengar soal menggugurkan. Itu maksudnya......." Kalimatnya menggantung, kesulitan mencari kata yang tepat sebagai pelengkapnya.
Tapi tampaknya dua persona lain paham kemana arah Sigit berujar. Bagus makin melirik tak nyaman, dan Ibunya menghela napas dalam. Sorot lelah dan sakit makin terlihat di netra yang mulai keriput.
"Kasih tau Adikmu ini, Nak Sigit. Menggugurkan bayi itu dosa, dan bisa juga jadi bahaya."
Deg.
Sigit sudah menebak ke arah inilah ia akan dibawa. Tapi mengapa rasanya masih kaget juga?
"Bagus.... bagaimana bisa....."
Si paling muda makin menunduk, menitikan tetes demi tetes air mata. Isaknya makin jelas di telinga, dengan pundak naik turun tergugu. Merasa bersalah, merasa sebagai tertuduh, merasa jadi pesakitan yang tengah dihakimi sang pengacara lewat tatapan.
"Aku... aku udah nggak kuat Mas. Aku nggak bisa..." Menangis lagi, membuat Sigit harus sabar menanti kelanjutan kalimat si muda Rakasiwi.
"Lalu bagaimana dengan Hendra? Anak itu amanat Hendra juga kan?" Pancing Sigit setelah lama hanya diisi tangisan Bagus yang kembali dipeluk sang Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)
RomanceNiat awal Sigit hanya mengunjungi kediaman Eyang Putrinya yang tinggal seorang saja. Namun benang takdir membawanya pada kisah rumit bersama Yudhis, Bagus dan Hendra. Pada Yudhis cintanya bertaut. Namun tanggungjawab yang diembankan Hendra di pundak...