Dua praja muda terduduk di atas motor masing-masing menikmati elok rupa senja dari tepi jembatan di pinggir Desa. Sama-sama menyesap lintingan tembakau yang asap kepulnya bergantian dihembuskan membaur udara.
Sigit Wibawa Mukti dan Mahendra Arfian Putra, memilih sejenak menikmati pendar jingga selepas pulang dari kediaman Rakasiwi ketimbang langsung terbekap bosan di rumah Eyang Kinasih.
"Bagus kelihatan ngarep banget sama lo, ya?"
Rokok Hendra dilepas dari belah bibir si pemuda. Menoleh pada Sigit yang bersuara tanpa mengalih tatap dari riak sungai di bawah sana. "Sounds good, right?"
"Pala lo!!" Sorot tajam yang mengintimidasi, tapi tidak untuk Hendra yang terlalu kenal sifat Sigit. "Jangan sampai gue denger Bagus nangis gara-gara lo ya, bangsat!!"
Yang diajak bicara memilih tertawa pelan, membuang sisa puntung rokok yang tak lebih tiga senti. "Kalau masih demen kenapa kasih ke gue sih, Git?"
"Berhenti bercanda Hendra, anjing!!" Lepas sudah emosi sang pengacara. Hampir melepas tinju ke muka si Arfian Putra jika Hendra tak lekas menangkis dan memulai mode seriusnya.
"Wait Bro, ok ok gue paham. Lo lagi proses perjuangin Yudhis kan ceritanya?"
Sigit tetap diam, tak menolak maupun mengiyakan.
"Begitu pun gue. Ini fase berjuangnya gue buat Bagus, Git. Gue juga mau jadi yang terbaik buat Bagus nantinya."
"Ck, sial. Gue pegang kata-kata lo Ndra!"
Diam diisi gemericik aliran sungai dan hembus angin sore yang mengusik bulu kuduk, dingin.
"Soal Yudhis, lo pernah ke rumahnya kan?"
Sigit mengangguk. "Waktu nganter Yudhis pulang dari rumah Eyang."
"Ketemu Ibunya?"
"Nggak sempet. Gue langsung pulang. Kenapa memang?"
"Nggak, gue penasaran aja kenapa begitu pertahanin rumah sama tanahnya padahal katanya udah ditawar mahal."
"Mungkin karena tanah warisan yang harus dijaga?"
"Mungkin juga. Tapi gue penasaran Git, pengen tanya langsung aja soal masalah ini. Karena gue yakin ada hubungannya sama Bapaknya Bagus, Git."
"Maksud lo Pak Lurah terlibat?"
"Mungkin?" Jawaban Hendra tak menjelaskan apapun sama sekali.
....
Lain si duo dominan tampan yang menghabiskan sore di tepi sungai, duo submissive manis yang berbeda kasta melepas senja dengan aktivitasnya masing-masing. Yudhis yang bersiap untuk pulang, menutup pintu dapur belakang rumah Rakasiwi. Sedang Bagus ragu-ragu mengintip dari pintu kamarnya. Maju mundur mempertimbangkan jauh untuk berbicara empat mata dengan Yudhis soal perasaan mereka.
Bagus yang memang tak terbiasa berinteraksi lebih dengan Yudhis selain untuk memerintah dan mengajukan protes-protesnya, harus menekan keras gengsinya yang setinggi angkasa. Demi rasa lega atas rasa pada Hendra dan Sigit, semuanya harus segera jelas antara mereka.
Sosok ayu Yudhistira hampir melewati pintu samping untuk pulang sebelum suara Bagus terdengar mencicit di belakangnya. "Yudhis, tunggu."
Deg.
"Iya Den, ada apa? Aden butuh sesuatu?" Bukannya harusnya Yudhis kesal karena jam kerjanya sudah usai?
"Bukan, aku ...... bisa ikut sebentar?"
Si budak mana bisa menolak? Diikutinya langkah Bagus yang menuju halaman belakang yang mulai dihias apik oleh lampu-lampu remang.
Dirasa tak ada yang akan mendengar, Bagus kembali mengumbar kata. "Ada apa, Den?" Sang Angger mengulang tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)
عاطفيةNiat awal Sigit hanya mengunjungi kediaman Eyang Putrinya yang tinggal seorang saja. Namun benang takdir membawanya pada kisah rumit bersama Yudhis, Bagus dan Hendra. Pada Yudhis cintanya bertaut. Namun tanggungjawab yang diembankan Hendra di pundak...