Crying

677 68 41
                                    

Hendiyanto Arfian Putra tumbuh dalam keluarga harmonis yang terlihat bahagia dari sisinya. Si sulung yang selalu jadi nomor satu baik di sekolah dulu, di pekerjaannya sekarang, bahkan di rumah. Tak heran Hendra si adik memutuskan keluar rumah setelah tak betah selalu dibandingkan dan dinomor duakan.

Semua kemauan Hendi adalah titah bagi orang tuanya. Sampai kini bekerja sebagai seorang jaksa, putusannya selalu tegas tak pernah suka jika diragukan maupun diganggu gugat. Si lelaki dominan penuh kuasa yang tak pernah mau kalah.

Tapi hari ini Hendi merasa kalah, terinjak. Harga dirinya dianggap remeh oleh pengacara macam Sigit Wibawa Mukti. Bukan di meja persidangan, melainkan lewat pesan singkat yang mencantumkan undangan pernikahan antara Sigit dan Bagus serta ujaran yang menganggapnya seolah tak bisa apa-apa.

Kalau keluarga kalian nggak mampu bertanggung jawab atas anak kandung Hendra, biar saya yang lakukan.

"Bajingan!" Desis Hendi tak terima.

Bukan hanya dirinya, tapi harga diri keluarganya juga direndahkan oleh sang pengacara. Bagaimana ia bisa terima?






....







Diantar oleh Pak Sugeng, siang ini Eyang Kinasih berkunjung lagi ke rumah keluarga Rakasiwi. Dengan senyuman sehangat mentari, wanita yang rambutnya sudah penuh memutih itu menyerahkan bingkisan buah kepada si Nyonya rumah.

"Buat Bagus, biar kandungannya sehat." Ujarnya.

Istiwiningsih membalas senyum tulus itu dengan gerakan bibir kaku. Senyuman canggung yang menyelip seraut bingung. Meski begitu ia tetap berterimakasih dan menjamu baik sang tamu di teras rumah yang debunya menipis setelah ia bersihkan tadi pagi.

"Bagus mana? Saya mau ketemu calon cucu menantu saya."

Deg.

"Bu Kinasih..."

Mencelos rasanya hati Istiwiningsih mendengar kata calon cucu menantu dari mulut yang lebih tua. Merasa tak pantas serta tak berhak atas predikat yang disandang putra tunggalnya.

".... saya...... saya dan Bagus minta maaf untuk......"

Ucap terbata berhenti setelah sang Eyang hanya mengulum manis senyuman sambil meraih jemari dingin Istiwiningsih yang diremas kalut di atas meja. Yang lebih muda diam terpaku menunggu eja kata dari si wanita baya. Berkutat dengan debar jantung tak karuan yang memburu di dalam dada.

"Ini sudah keputusan Sigit. Tidak ada yang perlu disalahkan." Merdu nian suara Eyang Kinasih yang berhembus bersama gemerisik angin menerbangkan helai dedaunan kering.

Jemari dalam genggaman Eyang Kinasih mengerat, menggenggam kuat. Yang lebih muda makin menunduk, menangis untuk kesekian kalinya. "Maaf, sekali lagi maaf. Karena kesalahan anak kami Nak Sigit jadi harus terlibat. Padahal..... padahal......." Tak selesai kalimatnya, karena Istiwiningsih keburu terisak tergugu.

Berakhir si wanita baya memutuskan bangkit untuk memeluk Budhe Ning menenangkan tanpa berujar lagi lewat kata. Tak menyadari di balik pintu Bagus Dwi Rakasiwi mengintip sambil menahan perih di dalam hati.

Bagus berpaling membelakangi pintu. Menitikan tangis tanpa suara sambil meremas kuat cincin emas bermata jernih kecil yang berkilat terkena pantul sinaran. Indah namun menyakitkan.

"Kenapa jadi banyak yang harus tersakiti begini?"







....








Gelap di langit semakin terlihat pekat tanpa elok bulan atau pendar bintang yang biasanya menghias kanvas sang malam. Seolah ikut berduka atas lara yang mendekap hati dua sejoli yang harusnya masih bertaut asmara, semenjak senja hingga kini hampir pukul sebelas mendung masih saja menggelantung walau hujan tak kunjung turun.

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang