The Peck

634 72 24
                                    

Angger Yudhistira sudah bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Lurah Rakasiwi setahun kurang lebih. Tak peduli mulut kejam Bagus dan sang Nyonya rumah ataupun berat pekerjaan yang sering diberi padanya, bagi Yudhis semuanya dianggap resiko pekerjaan. Apapun asal gaji yang didapatnya sepadan.

Hubungannya dengan semua anggota keluarga Rakasiwi pun hanya sebatas Tuan dan kacungnya, tak lebih. Termasuk pula dengan Tejo Rakasiwi, sang Tuan Besar yang berprofesi sebagai kepala desa. Teramat jarang Pak Lurah berinteraksi langsung dengan Yudhis kecuali hanya untuk memerintah si pemuda melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Oleh karenanya tentu saja sang Angger merasa kaget ketika siang itu tiba-tiba si pria paruh baya sudah ada di ruangan yang sama dengannya, berdiri mendekati Yudhis yang sedang menyetrika pakaian.

"T... Tuan Besar, Tuan perlu sesuatu?" Tanya si manis mematikan setrika.

Respon awal hanya deheman. Si pria lebih tua melepaskan flat cap cokelat dan meletakkannya di meja tempat Yudhis menyetrika. "Ibu kamu sudah punya jawaban?"

Raut congkak itu mengingatkan Yudhis akan wajah tak bersahabat Bagus Dwi Rakasiwi ketika ia melakukan salah dalam bekerja. Arogansi yang tak hanya lewat kata namun tatap mata pun menyorot kekejaman yang sama.

"Maksud Tuan Besar soal tanah dan rumah?" Angger masih menunduk, berusaha sopan pada si pria selaku majikan.

"Tentu." Sebatang cerutu dihisap dan asapnya dihembus kuat membuat Yudhis hampir terbatuk jika tak ditahan. "Waktu kalian hampir habis, jadi sebaiknya segera tentukan pilihan. Ah, atau segeralah tentukan harganya saja sekalian biar saya bisa urus secepatnya."

"Maaf Tuan, tapi kami terutama saya dan Ibu sudah sepakat untuk tidak menjual tanah dan rumah itu."

"Apa-apaan???? Kalian menolak tawaran saya??" Nadanya naik, jelas tak peduli istri atau anaknya dengar karena keduanya sedang tak berada di rumah dengan masing-masing kesibukan.

"Sekali lagi maafkan kami Tuan, tapi amanat mendiang Bapak saya adalah untuk mempertahankan tanah dan rumah peninggalannya itu bagaimanapun keadaannya." Kalimat panjang itu diujar sedikit takut oleh si pemuda manis. Tangannya dingin walau keringat membanjiri licin.

Si pria Rakasiwi mendengus keras, remeh. "Berarti kamu siap untuk saya pecat dari sini kan, anak manis?" Colekan jemari tua di dagunya dihindar jijik oleh Yudhis yang membuang muka.

"Jika itu bisa membuat Tuan berhenti mengusik tanah keluarga saya." Desis sang pemuda.

Lurah Tejo menguntai tawa tertahan. Kepul tembakaunya dihembuskan sengaja tepat di muka Yudhis hingga si manis terbatuk beberapa saat. Cerutu di sela jari dilepas, dibiarkan jatuh ke lantai keramik dan berdenting keras. Gerakannya cepat, meraih pinggang Yudhis dan menguncinya ketika tepat posisinya di belakang si manis.

"Tuan!!!!" Jelas saja sang Angger terlonjak tak terima.

Dipeluk dari belakang dengan kencang, dan kini si pria tua mendenguskan nafas bau tembakau keringnya di leher Yudhis dengan disusul bisik serta sesap sensual.

"Apa saya harus bikin kalian menderita dulu baru mau jual tanah itu ke saya?" Bisiknya menjilat cuping telinga Yudhis.

Jemari putih mencengkram lengan yang mulai keriput di pinggangnya. Mata Yudhis sudah merah, basah dengan air siap tumpah. Tak pernah terbayang olehnya akan menerima pelecehan sebegini kejam dari si pemimpin desa.

"Jual ke Tuan? Maksudnya bagaimana? Bukannya Juragan Yadi yang ......

Tapi kekuatan Pak Lurah ternyata lumayan juga. Raga Yudhis masih bisa ia tahan, terus berada di dekapnya meski belum berhenti berontak. Lidahnya bermain sensual menjilati dan menyesap leher jenjang si manis.

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang