His Movements

734 82 14
                                    

"Yudhis lagi ngelamunin apa?"

Yang disebutkan namanya sontak tersentak kecil, lepas dari awang cerita yang ia pikirkan hingga menghentikan kegiatan melipat pakaian bersih di hadapan.

Yudhistira menggeleng menanggapi pertanyaan Sari, ibundanya.

"Ah bohong. Dari tadi saja senyum-senyum sendiri begitu?" Bertanya lagi pada sulungnya yang kembali melipat kain demi kain milik pelanggan ibunya. Rona menjalar muka teringat adegan manis dengan pemuda bernama Sigit yang menyuapinya nasi tadi siang di Puncak Lintang.

"Nggak kok Bu, Yudhis cuma keingetan cerita lucu dari Hanung makanya senyum."

"Eh, apa nih? Kok namaku disebut-sebut???" Si pemilik nama— Hanung, adiknya datang membawa sekeranjang pakaian bersih yang baru saja diangkat dari jemuran.

"Mau tau aja anak kecil." Lalu pertengkaran ringan adu suara antara dua saudara berlangsung lagi mengundang gelengan kepala dari Sari. Kebiasaan putra-putranya yang akan bertengkar jika bertemu tapi saling cari jika salah satu tak jua ditemu.

Namanya Sari Wulandari, ibu kandung Angger Yudhistira dan Hanung Nugraha. Orang tua tunggal yang menghidupi kedua putranya dalam keterbatasan ekonomi semenjak suaminya meninggal belasan tahun lalu. Usahanya bermacam-macam mulai dari mencari sayur, kayu ataupun buah di hutan untuk dijual ke pasar, menjadi tukang juru masak di rumah warga yang sedang punya hajatan, mencucikan baju penduduk sekitar yang membayar jasanya, atau menjadi kuli kebun di ladang warga.

Yudhis sendiri hanya bocah lulusan SMP yang tak bisa melanjutkan pendidikan karena finansial tak memungkinkan. Sejak belia si lelaki manis sudah belajar prihatin atas kehidupan susah sang Ibu dengan membantu Ibunya bekerja. Bahkan ketika kini Hanung berhasil masuk ke jenjang SMA, Yudhis jua lah yang membantu membayar biayanya dengan bekerja di rumah Lurah Tejo sebagai asisten rumah tangga.

Di usianya yang semakin senja, Sari Wulandari tak lagi bisa mencari uang kesana kemari. Yang fokus dilakukannya kini hanya menjadi buruh cuci, membawa keranjang demi keranjang cucian tetangganya ke sungai yang ada di dekat rumah untuk kemudian ia cuci dan jemur di halaman belakang rumah.

Ketika siang atau sore cucian sudah kering, tak jarang baik Hanung maupun Yudhis yang sudah pulang bekerja akan membantu Ibunya melipat dan menyetrika pakaian-pakaian kering para pelanggannya.

Sebenarnya tanah tempat rumahnya berdiri ini pernah ditawar oleh seseorang dengan harga tinggi, katanya untuk villa, wisata atau semacamnya Sari tak begitu paham. Tawaran menggiurkan sebenarnya, apalagi letak tanah rumah yang memang ada di tepi hutan sedikit jauh dari tetangga lainnya.

Namun wasiat dari sang suami tak menginginkan keluarganya menjual tanah turun temurun warisan nenek moyangnya. Pun bujukan Pak Lurah juga tak membuatnya luluh dan melepas tanah tersebut pada pemintanya.

"Ya sudah, Ibu masak dulu untuk makan malam. Hanung, tolong teruskan nyetrikanya ya?"

"Loh kok Hanung? Kok bukan Kakak aja??" Protes si anggota keluarga termuda pada si wanita paruh baya.

Ibunya menggeleng, maju mengelus kepala putra bungsunya yang merajuk. "Kakak biar ngantar cucian ke rumah pelanggan. Kamu katanya habis ini mau ngerjain PR kan? Selesaikan dulu setrikaannya tinggal sedikit."

Mau tak mau si bocah SMA mengangguk dibuatnya.

"Antar kemana Bu? Aku anter sekarang aja biar nggak kemaleman." Yudhis berdiri menepuk bagian belakang celana kulotnya.

"Itu, keranjang yang warna biru. Antar ke rumah Nenek Kinasih ya? Yudhis berani sendirian kan?"

"Berani kok, Bu. Kalau gitu Yudhis berangkat dulu."

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang