Lovers

601 69 12
                                    

Gelap langit petang tak menghalangi Sigit Wibawa Mukti untuk memakai kaca mata berlensa hitam miliknya. Berniat untuk menyembunyikan raut kesedihan, meski sejujurnya sama sekali tak ada guna. Isaknya yang tak sengaja lolos samar terdengar, pun wajah bengkak sisa tangis tak berkesudahan.

Sekali lagi si pria berkemeja hitam menatap lurus sepasang suami istri paruh baya yang sedang beradu racau air mata, bersimpuh tanpa daya di hadapan jasad putra bungsunya.

Kepalanya teramat sakit. Selaras ulu hati menyaksikan aura nelangsa di rumah sang sahabat karib.

"Bagaimana bisa?"

Deg.

Satu lelaki berpostur tak jauh beda dengannya mengambil posisi berdiri di samping tanpa niat menoleh sedikit pun. Menguarkan intimidasi kuat atas sekitarnya.

Sigit sedikit tertegun. Melepas kaca mata mencoba sopan pada kakak satu-satunya Hendra yang berprofesi sebagai jaksa. Salah satu senior pejuang hukum yang sering beradu argumen dengannya di kursi pengadilan.

"Bang Hendi? Lama ya kita nggak ketemu."

Dengusan kecil tapi di telinga Sigit terdengar nyaring. "Nggak perlu basa-basi begituan kali, Git. Buang waktu." Sarkas, tak jauh beda dari sosok Hendiyanto Arfian Putra si pria garang berjubah jaksa yang Sigit temui menuntut para terdakwa.

Sang Wibawa Mukti menunduk penuh sesal melanda. "Sorry, Bang. Semuanya salah gue."

"Memang."

Kalau bukan di momen duka dan rasa bersalah memberat di dada, sudah pasti Sigit akan mengumpat saat itu juga.

"Tapi bukan lo doang yang harus bertanggung jawab atas kematian Hendra."

"..........?"

"Pelaku utamanya harus habis di tangan gue. Lo liat aja."

Sifat angkuh Hendi inilah yang membuat niat jujur Sigit sempat meredup berkali-kali.








....








"Masuk saja, Yudhis. Bagus ada di kamarnya sejak kemarin."

Mentari masih sejengkal beranjak naik ketika Angger Yudhistira memberanikan diri mendatangi rumah mantan majikannya sambil menenteng kaitan rantang susun yang hanya diisi sebuah rantang bermotif belirik hijau di bagian ujung. Sejak kemarin hati Yudhis merasa kurang tenang berpikir tentang keadaan Bagus yang ia yakini tak baik-baik saja. Kehilangan dua pria tercinta dalam hidupnya dalam sekali waktu membuatnya terpuruk jatuh. Mahendra yang berpulang pada Tuhan, dan Tejo Rakasiwi yang ditangkap Polisi.

Bu Lurah yang melihat Yudhis hanya diam mungkin merasa segan, kembali meneruskan kalimat lembutnya. "Dia nggak mau makan dan mengurung diri saja di kamar. Nggak dikunci, tapi kalau saya masuk dan ajak bicara yang dia lakukan cuma diam."

"Nyonya..." Mana Yudhis tega, perempuan berwatak keras yang dulu sering memarahinya ketika bekerja kini hanya tinggal seorang istri dan ibu yang dilanda susah dan gulana. Tak bisa apa-apa.

"Masuk Yudhis, saya mohon. Ajak Bagus bicara, ajak dia makan. Bagaimanapun...... hiks.... bagaimanapun dia sedang hamil."

Tak kuat melihat tangisan penuh rana oleh si wanita, Yudhis memilih mengiyakan. Membuka pintu jati ukir elegan di hadapan dengan gerakan pelan. Sedikit melongok sebelum sepenuhnya masuk ke dalam kamar.

"Permisi, Den Bagus. Ini saya." Suaranya sangat lirih. Menatap punggung ringkih sang lelaki manis yang duduk di tepian ranjang menatap kosong pada kaca jendela yang menampilkan arakan awan.

Tanpa disangka Yudhis, setelah ia menutup pintu justru sosok Bagus buru-buru menoleh ke arahnya dan berdiri untuk merengkuh dalam pelukan. Tentu saja Yudhis merasa segan untuk membalas pada awalnya. Tangannya dibiarkan menggantung di sisi badan sampai gumam kacau Bagus mengusik kewarasannya.

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang