His Fear

572 69 15
                                    

Kembali menapakkan kaki di rumah Eyang Kinasih, bukan lagi hanya rindu Nenek tercintanya yang dirasa. Namun kali ini rasa rindu, bersalah dan segala emosi tentang Hendra pun berbaur menjerat nafas Sigit Wibawa Mukti.

Di teras inilah Hendra biasanya sekedar duduk merokok melepas lelah sambil mengobrol segala hal dengan dirinya. Di halaman depan sana biasanya Hendra dengan rajin memandikan scrambler bike biru kesayangannya. Di kamar, di dapur, di ruang makan, bahkan di kebun belakang rumah semuanya mengingatkan Sigit tentang sang sahabat terbaiknya, Mahendra Arfian Putra.

"Den Sigit? Baru dateng?" Suara yang muncul dari pintu gerbang memaksa Sigit yang terbengong di depan pintu utama rumah untuk menoleh ke belakang. "Ayo masuk Den." Ah, ternyata Mbak Minah yang menenteng keranjang belanja dengan isi penuh lauk serta sayuran.

Si wanita membungkuk sopan, meraih kunci di saku rok wiru panjangnya untuk membukakan pintu bagi cucu sang Nyonya.

"Sepi sekali. Memang Eyang kemana, Mbak?" Masih jam sepuluh pagi. Kemana gerangan Neneknya?

Keduanya masuk ke dalam rumah. Sigit meletakkan tas ranselnya lalu duduk di meja makan, dan Mbak Minah masuk ke dapur untuk meletakkan keranjang belanja serta mengambilkan minum untuk si pemuda.

"Ibu pergi diantar Pak Sugeng ke kantor Polisi, Den." Mbak Minah mendekat dengan segelas air putih dingin.

"Kantor Polisi?"

"Iya, jenguk Pak Lurah."

Sigit mengangguk meski dalam hati berdecak tak suka. Sebagian sisi warasnya mencoba maklum, bagaimanapun hubungan keluarganya dalam hal ini Eyang Kinasih dan keluarga Lurah Tejo memang terjalin baik sejauh ini. Bahkan pernah terbersit menjodohkan ia dan Bagus kan? Maka tak heran neneknya masih repot-repot menjenguk si kepala desa entah cuma demi kesopanan atau memang masih menaruh hormat pada si lelaki Rakasiwi.

"Pak Lurah sebentar lagi mau disidang katanya, Den. Kena pasal berlapis." Tanpa diminta kini cerita lain mengalir indah dari mulut Mbak Minah yang masih berdiri di sisi kursi Sigit.

Hampir saja si tampan tersedak air yang tengah diteguknya rakus. "Mbak Minah tau dari siapa?"

"Tetangga pada ngomongin, Den. Katanya sidangnya setelah sidang Juragan Yadi selesai."

"............" Sok cuek padahal nyatanya Sigit mencatat baik informasi dari si asisten rumah tangga ke dalan otaknya.

"Juragan Yadi kena pasal pembunuhan, katanya bisa dapet hukuman seumur hidup paling maksimal. Kalau Pak Lurah kena pasalnya korupsi, pungli, suap, sama apa itu ya Mbak lupa... laundry apa gitu Den." Si wanita mendongak, menggaruk pelipisnya yang tak gatal.

"Money laundry."

"Ah, iya itu Den. Banyak banget tuduhannya. Kata orang-orang bisa dihukum seumur hidup juga Den."

"Itu teorinya Mbak, paling praktiknya juga bakal banyak pembelaan. Ujung-ujungnya masa hukuman paling diambil yang paling minimal."

"Loh masa, Den? Kok Den Sigit tau?"

Sigit hanya tersenyum tanpa menjawab. Masuk ke kamar membiarkan si wanita yang mungkin lupa akan pekerjaannya di kota untuk kembali ke dapur dalam keadaan bingung. Lagi pula bagaimana bisa informasi-informasi tentang persidangan hingga masa hukuman terdakwa sampai melebar ke telinga orang-orang awam di desa?









....









"Bagus mau kemana, Nak?" Istiwiningsih menghentikan gerakannya menjemur pakaian ketika melihat putra tunggalnya yang belakangan murung dan mengurung diri di kamar kini tampak ayu menawan dengan pakaian rapi dan semerbak wangi menenteng dompet di tangan kiri.

RESPONSIBILITY (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang