"Lo yakin nggak mau pulang aja?" Begitu keluar dari UKS, Dini terus berujar khawatir.
"Aku baik-baik aja, kok," Sanari tahu, Dini diberi amanah oleh orangtuanya untuk menjaga Sanari, tapi 'kan nggak perlu sampai segitunya juga. Sanari jadi merasa seperti anak kecil yang setiap langkahnya harus diawasi.
"Itu ketua OSIS punya dendam pribadi kayaknya sama Lo, San."
"Dendam apaan? Kenal aja enggak."
"Semoga aja, dia langsung dicopot dari jabatannya, kesalahannya udah fatal, sih, udah membahayakan nyawa manusia."
"Lebay, deh, mulai."
"Emangnya Lo nggak kesel di gituin? Gue sih kalau jadi Lo bakal ngelakuin apa aja buat balas dendam," Dini masih merasa geram, tapi dia langsung berteriak puas dalam hati begitu tahu ketua OSIS jahat itu dipanggil ke ruang guru. Rasanya Dini mah syukuran detik itu juga.
"Ini masih jam istirahat 'kan, Din?" Sanari berniat mengajak Dini pergi ke kantin. Iya, Sanari pingsan karena kelaparan, tapi begitu sadar tadi, salah seorang guru sudah memberinya sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Namun itu belum cukup, perutnya masih terasa lapar kalau belum memakan sesuatu yang pedas.
Dini melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, "harusnya, sih udah masuk."
"Nyolong waktu dikit nggak apa-apa, kan," Sanari bahkan tanpa dosa mengucapkannya.
Tak heran 'kan gadis itu datang terlambat pagi tadi, itu karena kebiasaan buruknya yang gemar mengulur-ulur waktu.
"Nggak takut di hukum lagi? Setelah ini ada agenda pengenalan sama guru-guru," ujar Dini mengingatkan, ia lebih suka taat aturan.
Sekarang, kedua gadis itu sudah berada ditengah-tengah persimpangan antara kantin dan kelas. Sanari berusaha menyeret Dini untuk ikut ke jalan pilihannya. Sedangkan Dini bergeming mempertahankan apa yang menjadi kebenaran.
***
Setelah berdebat panjang, Dini yang menang. Mereka berdua kembali ke kelas dengan wajah Sanari yang tertekuk kesal.
"Assalamualaikum," Dini menjadi yang pertama masuk kelas, rupanya sudah ada seorang guru pria paruh baya yang duduk di kursinya.
"Waalaikumsalam," jawab satu kelas serempak.
"Kamu yang pingsan tadi, ya?" Tanya pak guru begitu Sanari memasuki kelas.
Sanari menganggukkan kepalanya, "iya."
"Apa sudah merasa lebih baik sekarang?" Tanya guru itu lagi.
Sanari sudah duduk di kursinya, di barusan paling belakang. Tidak jauh dari kursi Rizan yang menolongnya tadi.
"Alhamdulillah, sudah baikan, pak," jawab Sanari.
Kejadiannya begitu cepat menyebar. Apa sudah jadi topik paling hangat juga.
Itu menjadi momen paling bersejarah bagi Sanari, di mana saat hari pertama memasuki lingkungan SMA dirinya sudah harus dihukum memakai pakaian orang gila, memungut sampah, hingga berjalan seperti bebek yang berujung pada tubuh lemahnya jatuh pingsan.
Namun kali ini ia tidak merasa kesal saat harus dihukum oleh kakak kelas yang kejam, tidak keberatan juga saat tubuhnya harus pingsan, kenapa ya? Ada sebagian hati yang berbunga di dalam sana.
Jika aku tahu kapan waktuku jatuh cinta padanya, mungkin itu dimulai ketika hari pertama masuk sekolah. Aku selalu dibuat terkesan oleh aksi kecil yang ditunjukkannya. Aku mengagumi Rizan yang mampu menjadi dirinya sendiri tanpa memperdulikan standar hidup orang lain. Dia menjalani prinsip hidupnya untuk dapat jadi manusia berguna bagi sekitar.
Aku tidak boleh baper ketika menerima tindakan kecil darinya, karena bukan hanya aku yang diperlakukan dengan baik olehnya, tetapi semua orang.
Sesederhana dipinjamkan pulpen, atau dibantu membuka snek kemasan, dibukakan tutup botol, dipinjami payung. Rizan begitu luar biasa, seperti setetes air di musim kemarau, dia terlalu berharga untuk diperebutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
2.160 hari |Jeongwoo - Minji
Подростковая литератураSeorang penulis yang meninggal dunia sebelum mempublikasikan karyanya. "Tentang kamu yang raganya telah pergi. Yang begitu bersemangat menginginkanku abadi."