Uang ada di tangan, anak ada dalam dekapan, tapi aku sendirian. Merindukanmu.
–Dini"Tidak denganmu, selamanya tidak. Makanya aku mati, baik rasa maupun raga."
–2. 160 hariDi atas kasur yang terbalut sprei bergambar Doraemon, Dini meninabobokan anaknya. Cahaya lampu sudah dimatikan sebelum telapak kaki menyentuh kasur. Ibu dan anak itu nyaman tertidur dalam keadaan gelap.
Surai hitam legam milik Rafa, Dini usap, rasanya masih kemarin ia melihat jagoan kecilnya melalui foto hasil USG, rasanya masih kemarin, Zul mengusap dan menciumi perutnya setiap sebelum tidur, rasanya baru kemarin Zul menitikan air mata bahagia ketika pertama kali mengendong putranya yang baru terlahir ke dunia, rasanya baru kemarin ia dan suaminya tertidur dengan Rafa di tengah-tengah mereka. Kemarin yang terasa sempurna.
Ingatan yang indah itu perlahan menyayat Dini seiring waktu, tawa bahagianya dulu menjelma sebagai air mata ketika melintas di waktu sekarang. Wanita yang mengenakan daster bunga-bunga itu melihat ke sisi lain kasur yang lenggang, tidak ada yang mengisi, meski Dini berharap Zul bisa sewaktu-waktu datang dan kembali ada tatkala membuka mata, kemudian ia mengatakan sapaan pagi disertai kecupan di kening dan bibir untuk kemudian menyadarkan Dini bahwa apa yang selama ini terjadi hanyalah mimpi buruk.
Dini keluar dari kamar, ruang tengah sudah sepi yang menandakan seluruh anggota keluarga telah tertidur. Wanita dengan postur tubuh yang semakin kurus itu menyambar korek gas beserta sebungkus rokok yang disimpan tersembunyi di bawah meja. Langkahnya membawa ia keluar lewat pintu belakang.
Tidak ada yang tahu bahwasanya sejak satu tahun terakhir Dini menjadi perokok aktif. Duduk di bawah pohon jambu ditemani kepulan asap rokok adalah Salah satu pelarian agar hatinya tetap merasa baik-baik saja. Ia tidak bisa menangis seperti perempuan kebanyakan, ia tidak bisa mengeluarkan bebannya melalui rintik air mata yang dijatuhkan setiap malam, bukan apa-apa, mungkin hanya karena sering terluka.
"Kamu tinggal sama ibu, Din. Ayo kemasi barang-barang kamu!!!" Dengan terburu-buru diiringi deru nafas yang tidak teratur wanita berusia dua puluhan itu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas ransel berukuran besar.
"Nggak! Dini tetap tinggal sama saya!!" Nada tingginya membuat tubuh kecil Dini terhenyak, pergelangan tangannya juga terasa sakit akibat cengkraman sang ayah .Meski sering menjadi saksi dari pertengkaran kedua orangtuanya, Dini tetap merasa takut setiap kali dua orang dewasa itu melempar argumen dengan nada tinggi juga kalimat kasar.
"Mau kamu kasih makan apa anak saya? Sementara kamu aja gak punya pekerjaan!" Ibunya ikut mencengkeram sebelah tangan Dini. Kini ia jadi bahan rebutan orangtuanya sendiri. Dua orang dewasa tak tahu diri yang pada akhirnya memilih mencampakkannya.
"Saya gak rela anak saya diasuh oleh orang asing seperti pria simpanan kamu!"
"Ya udah urus tuh anak kamu!" Ibunya menghempaskan tangan mungil Dini secara kasar. Maka berakhirlah Dini bersama sang ayah si pria cuek yang menikah lagi tepat di Minggu ketiga setelah keputusan saling meninggalkan dengan sang ibu.
Dini hanya sekedar tumbuh. Dirawat oleh asuhan ibu tiri yang galak, dia juga kasar ketika menasehati. Contohnya ketika memasak ikan, diusianya yang baru sembilan tahun itu kali pertama ia harus menggoreng ikan, alhasil ikannya gosong. Dini diomeli habis-habisan.
"Goreng ikan aja gak becus! Kalau gini hasilnya namanya kamu menghamburkan uang!"
Bukan hanya urusan menggoreng tapi juga urusan mencuci perabotan kotor, Dini sering terkena omel karena sabun yang cepat habis, atau piring dan gelas yang pecah, atau sendok dan garpu yang jumlahnya tiba-tiba berkurang.
Penderitaan itu semakin menjadi-jadi ketika adik tirinya lahir. Perhatian ayah yang sedari awal terasa semakin lenyap ditelan bumi.
Baru setelah beranjak remaja luka di hati Dini berangsur-angsur membaik. Nenek dari pihak ibu datang ke rumah ayah untuk membawanya pulang bersama.
"Saya datang baik-baik mau mengajak Dini tinggal bersama saya. Bagaimana pun dia juga cucu saya."
Ayah dan ibu tiri mungkin merasa jengkel harus mengurus anak tidak berguna. Mereka mengiyakan tanpa perdebatan.
Di rumah nenek Dini bebas melakukan apapun, ia tidak akan kehilangan jati dirinya.
🌊🥶💦👣🌀
Beberapa jam lalu satu artikel tentang Rizan baru saja diliris. Hendi yang memberi tahunya.
Lama tak muncul menyapa penggemarnya, rupanya Rizan sedang berada di kampung halaman sekaligus berziarah ke makam sang kekasih. Dibawahnya terdapat foto Rizan yang sedang berziarah ke makam Sanari. Warga net juga meninggalkan komentar:
Ini yang dinamakan cinta sejati!!
Gue pikir, cowok kayak dia cuman ada di drama.
Gak kebayang sebucin apa dia dulu.
Turut berdukacita, kak.
"Kok bisa ada wartawan yang masuk ke Cikemang?!" Rizan berujar tak habis pikir kepada Hendi melalui sambungan telepon.
"Mungkin aja ada orang yang menjual foto itu ke akun gosip?" Begitu pendapat Hendi.
"Kontrakan Lo di Jakarta udah rame sama wartawan, sih. Baiknya Lo tetep di kampung aja."
"Makasih, ya Hen udah selalu jaga saya."
"Mungkin, sekarang Lo harus pertimbangan untuk buat klarifikasi soal buku novel, Lo yang katanya dari kisah nyata itu."
Rizan membuang napas kasar, "gak ada yang dari kisah nyata!"
"Gue gak mau nyalahin, tapi awalnya juga karena Lo mengklaim itu sendiri di salah satu postingan di sosial media."
Rizan mematikan sambungan telepon. Ia mengacak rambutnya frustrasi, "aaahhh!!"
Sekarang apa yang harus dia lakukan.
Rizan pikir, mereka akan merasa bosan dengan sendirinya, tetapi ternyata mereka malah menggali semakin dalam tentang dirinya dan Sanari di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
2.160 hari |Jeongwoo - Minji
أدب المراهقينSeorang penulis yang meninggal dunia sebelum mempublikasikan karyanya. "Tentang kamu yang raganya telah pergi. Yang begitu bersemangat menginginkanku abadi."