Cikemang, 27 Juli 2022
Dentum musik semakin menyemarakkan suasana di pasar malam. Kilau petasan mercon mampu memperindah tampilan langit yang gelap pekat.
"Gandeng tangan ibu, San. Takut ibu kalau kamu hilang," ucap sang ibu berjalan di kepadatan manusia yang hilir mudik mengelilingi pasar malam.
Sanari menurut, "iya, Bu. Lagian hilang ke mana, toh ini daerah yang aku kenal."
Ibu berdecak, "nurut aja!"
Sudah merupakan satu keajaiban ibunya mengizinkan main ke pasar malam, ya meski tetap ditemani. Ibunya amat protektif.
"Bu, aku mau naik itu!" Sanari menunjuk bianglala yang berputar dihiasi lampu warna-warni.
Ibu menanggapi dengan perasaan tak yakin, "gak akan muntah kamu?"
"Ya ampun, Bu. Masa naik itu aja muntah, anak kecil aja banyak yang naik, tahu!"
"Ibu, kok lihatnya aja udah mual ya." Ibu menutup mulutnya yang mulai bereaksi. "Kamu kok mau sih main ke tempat begini, apa seru nya coba? Lihatin manusia lain aja."
Sanari mencibir, "ahh ibu gak gaul."
"Mau ibu temenin naiknya?"
"Aku lebih khawatir ibu muntah ke celana aku nanti, jadi aku naik sendiri aja. Mana bagi uangnya." Sanari menyodorkan telapak tangannya yang terbuka pada sang ibu.
"Berapa?"
"Sepuluh ribu."
Selalu ada tempat di mana kebetulan menjadi pertemuan yang paling sering terjadi diantara mereka.
"Sendiri, neng?" Tanya si mang penunggu wahana begitu Sanari memberikan tiket masuknya.
"Iya," jawab Sanari.
"Ya, udah masuk."
Ini bukan kali pertama bagi Sanari menaiki bianglala, tetapi ia menjadi begitu antusias ingin segera menikmati keindahan langit malam dari ketinggian. Menikmati waktu di luar rumah menjadi satu keistimewaan tersendiri bagi gadis berusia 18 tahun itu.
Begitu masuk ke dalam wahana yang bentuknya mirip sangkar burung itu, Sanari baru menyadari eksistensi seorang cowok bercelana cargo warna krem juga ada di sana, Sanari pikir ia akan sendirian, males rasanya harus terjebak dengan orang asing.
"Lho! Rizan!" Seperti riak kembang api yang menyala, seperti itu juga perasaan Sanari ketika tahu partner nya adalah Rizan.
Selalu gadis ini yang menyapa lebih dulu. Tapi kalau orang yang ditemui adalah temannya yang lain, Sanari tidak akan memberi sapaan sehangat itu. Perlakuan itu hanya diberikan kepada Rizan.
Pemuda berkaos putih itu hanya tersenyum menyambut keterkejutan Sanari si teman sekelasnya.
Seorang Rizan naik bianglala? Itu tidak pernah terpikirkan oleh Sanari. Tampak luar, Rizan sepertinya akan lebih tertarik menaiki wahana ekstrim.
Namun ketika ditelisik lebih jauh rupanya dia seorang yang mengaku sebagai nycthopile. Sanari akan bilang, "kita punya sedikit kemiripan."
"Sendirian aja, Zan?" Sanari berinisiatif memulai percakapan.
"Enggak, berdua sama Lo."
Sanari tertawa canggung, "iya sih, gak salah. Maksudnya Lo kesini sendirian atau ramean?"
"Niatnya cuman nganter mamah beli martabak, ehh jadi tertarik naik ini dulu," jawab Rizan.
"Mamah nya gak ikutan naik?"
"Nolak dia."
"Hormon ibu-ibu mungkin ya, mamah ku juga gitu."
Rizan tertawa selama dua detik, "bisa jadi."
Dua detik yang mampu menghantui Sanari sepanjang hari.
Biang Lala mulai berputar, Sanari dan Rizan masing-masing menikmati perasaan sendiri-sendiri. Melihat pada kerumunan manusia yang tampak kecil dari ketinggian. Desa Cikemang tak begitu terang, jarak lima meter dari area pasar malam hanya didominasi cahaya remang-remang bulan.
Sanari dan Rizan sama-sama mengabadikan gambar lautan manusia dari atas bianglala.
Bagi Sanari ada satu objek yang jauh lebih indah lagi dari pada kelap-kelip lampu warna-warni di suasana malam ini. Seseorang yang duduk di hadapannya. Diam-diam Sanari memotret Rizan, tentu pemuda itu tidak sadar.
"San, lihat deh ada yang lagi makan bakso suap-suapan di pojok sana," telunjuk Rizan mengarah ke sebelah kanan.
"Mana?" Sanari mengikuti ke mana arah telunjuk Rizan tertuju. Namun ia tidak menemukan apa yang pemuda itu katakan. "Gak ada."
"Ahh telat!"
"Mungkin terlalu romantis buat dilihat sama kaum jomblo kayak aku," ujar Sanari.
"Makanya punya pacar."
"Lo sendiri ada gak?" Sanari bertanya balik.
"Ada, lagi di jalan dia."
"Kebanyakan mampir ke sana-sini jadi susah sampainya."
"Ini Kita udah berapa putaran, ya?"
"Udah ngerasa pusing ya, mau turun!?"
"Bukan."
"Terus?"
Rizan malah terlihat sedang menahan sesuatu, kakinya di goyang-goyang kan mengakibatkan bianglala yang mereka naiki juga bergoyang.
"Jangan goyang-goyang, Rizan!" Sanari takut kalau wahana yang mereka naiki tiba-tiba ambruk sebab ulah Rizan.
Rizan malah merasa senang melihat ekspresi ketakutan yang Sanari keluarkan, berpegangan pada besi di sisi kanan dan kirinya, terlihat konyol. Rasa mules di perutnya seolah tergantikan dengan perasaan lain. Perasaan aneh seperti bagian dalam perutnya digelitik.
Rizan jadi sengaja menggoyangkan kakinya.
"Rizan! Bahaya tahu! Jangan main-main."
Rizan tertawa sampai puas. Dua kakinya sudah tidak ia but bergoyang-goyang lagi, tapi tawanya masih tersisa hingga ia turun dari wahana permainan.
Usai turun dua sejoli itu berpisah tanpa berpamitan. Padahal semesta tahu mereka ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama.
Rizan berjalan ke timur menghampiri ibunya yang menunggu di dekat warung martabak. Sanari berjalan ke Barat menghampiri ibunya yang sudah menunggu dengan cemas di dekat penjual baju. Sanari sempat menengok lagi ke arah belakang, namun indra penglihatannya sudah tidak mendapati Rizan di sana.
Ya, jatah mereka hanya sebentar.
Hai👋
Maaf ya update nya telat.Gimana sama part ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
2.160 hari |Jeongwoo - Minji
Teen FictionSeorang penulis yang meninggal dunia sebelum mempublikasikan karyanya. "Tentang kamu yang raganya telah pergi. Yang begitu bersemangat menginginkanku abadi."