Rumah Rizan

6 0 0
                                    

"Apa pantes di rumah bujang menginap seorang perempuan? Satu atap lagih, terus kalian bukan saudara?" Sang ibu tidak habis pikir dengan anaknya yang pagi ini tiba-tiba membawa seorang perempuan berpakaian seksi, menenteng koper. Katanya mau menginap di rumah.

"Kasih tahu pak RT aja." Rizan berucap dengan enteng. Ia dan ibunya tengah berdiskusi di dalam kamar. Sementara tamu yang jadi sebab percekcokan kecil itu sedang duduk manis ditemani secangkir teh di ruang tamu.

"Kamu pikir pak RT bakal izinin?! Enggak, ibu gak mau ambil resiko. Kamu dan dia itu lawan jenis, bukan gak mungkin kalian akan melakukan sesuatu yang diluar batas."

"Ibu gak perlu berpikir sejauh itu, masa gak percaya sama anak sendiri, aku rajin shalat, rajin ngaji, rajin zikir, gak mungkin aku lakuin itu."

"Setan itu bisikin manusia gak pandang bulu. Anak bi Marliah aja yang sekolahnya sambil mesantren bisa kebobolan, lah kamu?!" Nada sang ibu betul-betul terdengar meremehkan, Rizan merasa tersinggung mendengarnya.

"Tapi 'kam Kasihan dia, bu udah terlanjur datang. Jauh-jauh lho dari jakarta."

"Makanya jangan sembarang ajak cewek ke rumah, repot sendiri 'kan."

"Biarin dia tidur sama ibu aja, ya?" Rizan masih berusaha memohon.

"Terus bapak kamu?! Lagian orang cantik, dan bersih kayak dia mana mau tidur sama nenek-nenek yang kasurnya bau minyak angin." Ibu Rizan masih tetap menolak. Tubuhnya duduk angkuh di tepian kasur dengan Rizan yang duduk bersila di bawah kakinya.

"Ya, bapak bisa tidur sama Izan aja."

"Orang lain bakal tetep mikir macem-macem tentang keluarga kita."

"Gini ajah deh, aku nginap di rumah om Caka sampai Natalia pulang, terus Natalia bisa tidur di kamar ku selama dia di sini."

Ngeyel, keras kepala, turunan dari siapa sipat nya itu. Menginjak umur kepala dua tak menjadikan Rizan sebagai sosok yang dewasa di mata sang ibu. Bagi perempuan paruh baya itu, Rizan tetaplah anak kecil yang harus diberikan nasihat sebelum memilih keputusan.

Saat anaknya memutuskan merantau ke ibu kota, hatinya tak henti dibisiki kekhawatiran. Selama dua Minggu semenjak anaknya pergi, selama itu pula ibu menangis, merasakan kehilangan. Apalagi jika mengingat kebiasaan Rizan yang suka sekali masakan berkuah santan, maka sang ibu akan kembali menangis ketika melihat masakan itu, teringat dengan sang anak di perantauan. Apa anaknya makan teratur? Apa anaknya makan makanan enak? Atau justru dia malah belum makan.

"Ibu setuju 'kan?"

"Hanya tiga hari," putus sang ibu melenggang menuju ruang tamu. Menghampiri tamunya dengan seulas senyum. Bagaimana pun situasinya tetap menjadi kewajiban kita untuk melayani tamu dengan baik.

"Maaf ya kamu jadi ditinggal,"

"Gak apa-apa," balas Natalia.

"Kamu kok bisa sampai ke sini? Gak nyasar memangnya?"

"Sempet nyasar sih tadi, aku malah di bawa ke hutan sama google map." Bila mengingat seberapa brutal perjalanannya tadi, Natalia jadi berpikir dua kali jika mau berkunjung lagi ke desa ini.

"Emang suka begitu, kemarin aja ustadz yang dari kota nyasar ke hutan waktu mau ke pengajian di desa ini, memang resiko tinggal di pelosok, kali ya," Cerita ibu Rizan.

"Yaah ibu, cerita itu lagi. Perasaan setiap ada orang baru ke desa kita, ibu ceritain itu terus," ujar Rizan baru keluar dari kamarnya. "Kopernya saya taruh di kamar ya, pokoknya selama kamu di sini, kamu istirahat di kamar saya aja." Ucapan Rizan yang mendapat delikan dari sang ibu.

"Emang faktanya begitu kok, gak cukup satu atau dua orang yang ngalamin kejadian nyasar dulu sebelum ke sini," balas ibu Rizan lagi.

"Saya jadi gak enak, ngerepotin pasti," ujar Natalia. Ini pertama kalinya ia bepergian seorang diri ke tempat yang sama sekali tidak di ketahui nya.

2.160 hari |Jeongwoo - MinjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang