"Diksi terindah yang pernah aku baca adalah tulisan namamu. Puisi yang membuatku jatuh cinta adalah kumpulan kata yang mendeskripsikan mu."
—Sanari Maharani*****
Hari Senin telah tiba, nama hari yang dulunya paling tidak disukai Rizan. Terus terang dulu ia sering bolos upacara dengan bersembunyi di langit-langit kelas bersama beberapa temannya. Sanari tahu tempat persembunyian itu, tetapi dia memilih merahasiakannya, awalnya Rizan tak paham, padahal Rizan tidak akan merasa keberatan bila gadis itu melaporkannya pada guru. Tapi rupanya itu adalah cara Sanari mencintainya yang tidak membiarkan Rizan terluka oleh hal apa pun.
"Kenapa gak ada pas upacara?" Tanya Sanari kala itu.
"Cuman lagi bersembunyi dari musuh,"
Rizan hanya bisa tertawa lucu sekaligus merasa menjadi manusia yang buruk ketika mengingatnya sekarang, nyatanya tidak ada yang bisa diperbaiki di masa lalu.
Sekarang Rizan tidak lagi membenci hari Senin, baginya semua hari terasa sama saja begitu dewasa, ralat kecuali hari gajian. Saat menjadi karyawan pabrik dulu, Rizan serasa memiliki semua kebahagiaan yang ada ketika gajinya turun, dia akan membayar kontrakan, membayar hutang pada Hendi, membeli sabun mandi, sabun cuci, kemudian dalam sekejap mata uang tebal itu lenyap seketika dan Rizan kembali memutar otak mengenai biaya hidup di hari-hari berikutnya. Melelahkan secara fisik dan pikiran.
Kali ini, Rizan memilih mengendarai motornya ketimbang harus berlari untuk sampai ke sekolah. Di perjalanan ia melihat beberapa siswa yang berjalan kaki. Masing-masing dari mereka menggendong tas di punggung dengan beberapa model dan ukuran, seolah menggambarkan beban yang di pikul mereka.
Oh ya, semasa SMA Rizan tidak pernah membawa tasnya ke sekolah, dia lebih memilih membiarkan buku-buku pelajarannya tergeletak di atas meja dan tertumpuk bersama sampah di kolong mejanya. Betapa buruknya dia dulu. Namun Rizan tak sempat mengucapkan terima kasih pada Sanari yang mau merapikan buku-bukunya setiap gadis itu melakukan piket. Membayangkan seberapa luasnya cinta Sanari untuk Rizan hanya akan membuat lelaki itu besar kepala.
Sesampainya di gerbang sekolah, motornya di cegat masuk oleh bapak-bapak penjaga gerbang, dia berpakaian seperti satpam, sayangnya Rizan tidak mengenal siapa dia.
"Stop, mas! Anda siapa ya? Pengajar baru di sekolah ini?"
"Bukan pak," jawab Rizan sekenanya.
"Kalau begitu, anda tidak diperbolehkan masuk," gestur tangannya dengan jelas menyuruh Rizan untuk segera pergi.
"Bapak percaya gak kalau saya murid baru di sekolah ini."
Tanpa perlu berpikir bapak itu menggelengkan kepalanya, "enggak!"
Rizan memarkir motornya ke samping jalan. "Kalau gituh kita ngobrol-ngobrol dulu pak."
"Malah ngajakin ngobrol," bapak ini tipe orang yang mudah sekali jengkel. Ditentang sedikit jawabnya langsung ngegas." Saya ini lagi kerja, mas. Jadi kalau mas nya gak mau digebukin warga mendingan segera pergi saja."
Lama tak pulang kampung ternyata membuat orang-orang yang dulu mengenalnya seketika lupa.
"Kedatangan saya cuman mau silaturahmi, bukan mencuri. Bapak pasti warga baru ya di kampung ini?"
"Saya udah dua tahun di sini, jadi sudah tidak termasuk warga baru lagi. Lagi pula apa hubungannya saya baru di kampung ini atau enggak dengan kamu yang datang hari ini." Nada tinggi bapak itu membuat perhatian beberapa siswa tertuju padanya.
"Saya alumni sekolah ini, angkatan tahun 2023," ujar Rizan agar dirinya tak lagi disalahpahami.
"Ouuuhhh," begitulah respon bapak penunggu gerbang, menyebalkan!
"Buktinya?" Ujar bapak itu lagi. "Bisa saja kan kamu ngaku-ngaku."
Tentu saja Rizan tidak punya bukti berwujud. Membuat bapak itu mengejeknya, "gak punya kan? Ganggu orang kerja aja!"
Bapak itu kembali bekerja, "heheheh, cepat-cepat sebentar lagi gerbangnya akan di tutup." Ia terlihat menggiring beberapa siswa.
Rizan tak pernah kehabisan akal, dia menyalakan ponsel dan mengunjungi akun media sosial Sanari, kalau tidak salah di sana terdapat banyak foto mereka sewaktu masih SMA.
"Pak! Pak! Pak! Saya punya buktinya," Rizan memanggil bapak penjaga gerbang yang sudah menutup gerbang sekolah itu. Mereka harus berbincang dengan dibatasi gerbang besi.
"Apalagi mas? Di sogok 271 triliun pun saya gak akan mau membiarkan penyusup masuk."
"Siapa yang punya uang sebanyak itu pak." Jadi karyawan pabrik sampai mati pun Rizan tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.
"Inih pak, bapak tahu Bu Fitria 'kan?" Rizan memperlihatkan foto bersama teman-teman sekelasnya dulu, di sana ada Bu Fitria, pak Usman, dan pak Dudin.
Bapak itu melihat foto di layar ponsel dengan seksama, "terus mas nya yang mana?"
Rizan meringis begitu di tanya begitu. Ia merasa sedikit malu untuk menunjukkan Poto lawasnya yang terlihat lebih kurus dan berkulit kusam. "Yang ini pak," Rizan menunjuk seorang anak laki-laki yang memakai baju batik SMA Terbit Terang. Baju batik dengan corak berwarna biru.
Pak penjaga gerbang menirukan gaya Rizan di foto, kedua tangannya menunjukan pose seperti seorang rocker, "gini?"
"Mas nya beda sama yang di foto."
"Bapak masih gak percaya juga?
Pak Kus Kus akhirnya luluh, dia memilih membuka gerbang, "ya sudah ayo masuk, saya antar."
"Terima kasih, pak." Rizan membungkukkan tubuhnya, lalu berjalan masuk.
Rizan sudah duduk tegak saja di sofa yang terdapat di ruang guru, awalan ia sedikit canggung harus mulai menyapa mereka dengan cara apa. Begitu datang, Rizan langsung disuguhkan tatapan tajam dari Bu Gita—guru ekonomi sekaligus musuh bebuyutan Rizan dulu. Apa terlalu dramatis jika menyebutnya sebagai musuh bebuyutan, intinya semasa sekolah dulu, Rizan sering bolos di pelajaran Bu Gita, Rizan paling tidak mau bertemu dengan neraca saldo, itu sangat memusingkan apa lagi bila harus berpadu dengan kalimat tajam dari Bu Gita yang sering guru itu lontarkan selama jam pelajaran, seperti sekarang, wanita paruh baya itu juga menyambutnya dengan sindiran telak.
"Kamu seperti Rizan, murid yang selalu membolos di setiap jam pelajaran saya," Ia pikir gurunya itu akan lupa, namun ternyata Rizan salah, insting seorang guru memang luar biasa.
Rizan tidak mungkin membalasnya dengan kalimat pedas juga, ia menyalami semua guru yang ada di sana sembari diiringi senyuman manis.
"Ada kemajuan, ya, sekarang badanmu lebih berisi, tidak kurus seperti dulu, "ujar pak Usman yang dijawab Rizan dengan kalimat hamdalah.
"Charming! Semriwing! Yah sudah jadi orang kota mah." Rizan hanya bisa tersenyum kaku menanggapi ucapan pak Dudin.
Setelah berbincang cukup lama dengan guru-guru, Rizan memutuskan untuk menunggu di warung pak Emul hingga jam sekolah selesai, warung yang menjadi pelarian Rizan saat membolos pelajaran ekonomi. Apa bapak tua itu juga akan melupakannya. Jika berkeliling area sekolah sekarang, Rizan takutnya mengganggu kegiatan pembelajaran. Bisa-bisa para siswi lebih memilih memerhatikan ketampanannya daripada menyimak materi pelajaran.
Syukurlah ia juga sudah mendapatkan izin untuk berkeliaran di area sekolah. Tenang saja, kali ini Rizan tidak akan di usir pak Kus Kus.
KAMU SEDANG MEMBACA
2.160 hari |Jeongwoo - Minji
Novela JuvenilSeorang penulis yang meninggal dunia sebelum mempublikasikan karyanya. "Tentang kamu yang raganya telah pergi. Yang begitu bersemangat menginginkanku abadi."