Milikmu aku usahakan menjadi bahagiaku

13 1 0
                                    

"siapa yang tahu kapan waktu akan merenggut ku. Aku menitipkan mu pada hembus terakhir sore itu."


"Lo kok banyak alesan banget kalau di ajak main sama kita," Ujar Zul, nada suaranya ketus.

"Maaf, tapi gue emang gak bisa." Jauh di lubuk hatinya Sanari ingin ikut berkumpul bersama mereka terlebih ada Rizan juga di sana.

"Ya udah gak apa-apa, lain kali aja ya, kalau di rumah gue Lo bakal ikut kan?" Kata Dini.

"Kita lihat nanti aja, dia bakal banyak alesan lagi gak, " sinis Zul.

"Kurang-kurang in kamu bergaul sama Dini, dia sering ngajak cowok-cowok kerumah, terakhir kali kamu juga ikutan kan? Ibu jadi nyesel pernah titipin kamu ke Dini pas disekolah." Ibu sudah menyemburkan lava kemarahannya.

"Bergaul mah sama siapa aja Bu, gak boleh pilih-pilih," balas Sanari tak mau kalah. Kadang ia juga merasa tertekan.

"Jaman sekarang justru harus lebih selektif milih temen, kamu bergaul aja sama anak-anak pinter, sama lingkungan yang positif. Kamu perlu tahu ibu itu khawatir."

"Maksud ibu, Dini bawa energi negatif?" Ada niatan memulai perdebatan sengit dengan sang ibu. Gelas yang barusan ia gunakan untuk minum terlihat sengaja dientakkan.

"Anak gadis jaman sekarang banyak yang kebablasan, ibu gak mau itu terjadi sama anak gadis ibu. Lihat deh pergaulan si Dini sekarang yang makin bebas, sering main sama cowok, kalian tuh udah besar bukan cuma  anak SD, bukan gak mungkin kalau gaulnya kebablasan."

Sanari tidak bisa melawan. Nyalinya kembali terkubur dalam setiap mendengar kalimat pembelaan dari sang ibu. Sanari merenungkan ucapan itu, oke ia terima karena semua demi kebaikannya. Hati Sanari yang tadi sepanas bara api perlahan dingin kembali.

Bukankah seorang ibu harus menjaga ucapannya?

"Husssh! Ibu, dijaga omongannya."

"Pokoknya ibu gak mau lihat kamu deket lagi sama Dini, titik!"

"Oke," tak ada cara lain bagi Sanari selain daripada menurut kalau tidak mau urusannya merembet jadi masalah yang lebih besar.

Dulu Sanari tidak punya impian, tidak tahu bagaimana rasanya memperjuangkan apa yang diinginkan. Ia bahkan bertanya-tanya apa itu mimpi? Apa ada mimpi lain selain daripada cerita yang tidak tentu alurnya. Apa ada cara lain mendapatkan mimpi selain daripada tertidur.

Apa Sanari punya mimpi? Apa mimpinya? Apa itu harus berarti sebuah keahlian? Lalu apa keahlian Sanari? Ahh rasanya sedih ketika tidak tahu potensi apa yang dipunya.

Selama lima belas tahun hidup perjalanannya terus dibayang-bayangi sang ibu. Deretan aturan memang mengekangnya, tapi Sanari tak pilih melawan, ia tahu semua itu demi kehidupannya yang lebih baik.

"San, gak boleh kebanyakan makan coklat nanti gigimu bolong-bolong."

"San, beres sekolah langsung pulang ke rumah."

"San, gak boleh jajan sembarangan."

"San, jangan sering makan pedes, awas!"

"San, nilai mu harus bagus."

Ibu selalu mengaturnya tanpa terkecuali. Strict parent, Sanari memiliki orang tua yang tegas hingga akhir hayatnya.

Sastra perlahan membawa Sanari berlari. Aksara yang membuatnya bermimpi ingin menjadi seorang penulis, dan Rizan yang pelan-pelan  membawanya melangkah pada impian itu. Mengaguminya bukanlah hal yang salah. Banyak perasaan yang dipendam kadang sulit untuk diutarakan dengan suara. Ternyata hidup tidak selamanya tentang bicara. Sanari tetap bisa mengungkapkan rasa sukanya melalui tulisan. Hanya melalui tulisan perasaannya dibebaskan berekspresi. Setidaknya dari keseluruhan hidup yang kejam ini, Sanari mempunyai satu pelarian.

"San, pokoknya kalau nanti pas giliran Lo naik ke atas panggung, jangan anggap para penonton sebagai manusia, anggap batu aja." Mantra klasik dari Dini yang tidak dapat meredakan perasaan grogi dalam diri Sanari.

Sanari tak biasa menjadi perhatian. Eksistensinya kini berperan sebagai peran utama yang menjadi pusat utama. Tangannya jadi berkeringat. Buku jarinya terlihat memutih akibat ditekan kuat. Bahkan sejak pandangannya melihat tulisan "Selamat Datang di Perlombaan Membaca Puisi Tingkat Provinsi" pun tangannya sudah mulai basah dengan keringat.

"Kamu gerogi ya," ujar Bu Gita dengan kekehan di akhir, dia tidak mau membuat Sanari semakin tegang.

"Iya, Bu, ini jadi yang pertama buat aku." Sanari menggosok-gosokkan kedua tangannya di atas paha.

"Tenang yang jadi kunci utama," Bu Gita mengusap pundak Sanari. Sedari tadi guru wanita yang dikenal galak itu terus menguatkannya, sekarang hawa buasnya tengah tertidur, begitu pikir Sanari.

Oke, ini bukan akhir dunia, sekali tarikan napas Sanari seolah menghirup semua udara. Dia tampil dengan nomor urut 17, sama dengan tanggal kelahiran Rizan. Dengan kedua mata yang terpejam Sanari memantapkan langkahnya menaiki panggung.

Cita-cita

Masa kita adalah bermimpi
Tak perlu resah dengan caci maki
Masa kita adalah berlari
Tak apa terjatuh untuk terluka sesekali

Masa kita adalah bermimpi
Kau bisa tanya pada sehelai daun yang terjatuh pagi tadi
Angin pernah membawanya terbang tinggi
Daun berkata, "jatuh ku bukan perkara kalah tapi rehat sesekali."

Jalan di depan menanti
Mengacungkan tangan tinggi-tinggi
Wajah yang setia berseri-seri
Rasanya ingin diulang lagi dan lagi
Rupanya begitu rasa terbang dibawa mimpi.

Sore itu, kami bak pelangi.

Riuh tepuk tangan mengiringi berakhirnya puisi yang dibacakan Sanari yang membuatnya juga merasa tengah berada di alam mimpi, seluruh tubuhnya terasa merinding, ya suara tepuk tangan itu untuknya. Hatinya terasa lega, tubuhnya bagai ditiup angin, ringan sekali. Sanari berjalan turun dari panggung.

"Kerja bagus Sanari," ucap gadis itu menguatkan diri sendiri. Pencapaian terkecil pun harus di beri penghargaan, tak dipungkiri Sanari merasa sudah melakukan yang terbaik hari ini.

Bu Gita Sudah merentangkan tangan menyambut, guru ekonomi itu sudah bersiap akan merangkulnya. Pak Zaki juga terlihat tersenyum di sebelah Bu Gita.

"Udah lega sekarang mah." Bu Gita Kembali mengusap pundak Sanari.

Siapa yang tak menginginkan kemenangan, dalam perlombaan, menang kalah adalah satu keputusan mutlak. Dan Kita semua adalah pemenang di setiap kebahagiaan kecil yang diraih. Kalah bukanlah kalah, tapi memang bagian kita yang tidak ada di sana, masih ada tempat lain bukan, tidak baik menjadi putus asa. Namun di kompetisi membaca puisi tingkat provinsi, Sanari harus menelan pil pahit kekalahan. Dibalik kekecewaan itu Sanari juga pernah merasa menjadi pemenang diantara pemenang lain, saat menerima piagam penghargaan di kompetisi membaca puisi tingkat kecamatan.

"Jadi keinget Rizan." Sanari memandangi piagam penghargaan yang bertuliskan nama lengkapnya di sana. Tak di sangka ia berhasil menyabet juara satu. Tangan lentiknya mengotak-atik ponsel, mencari kontak Rizan di sana.

Sanari
Aku menang euy

Rizan
Asli?
Kapan nyampe rumah

Sanari
Udah dari tadi
Bibirku sampai bengkak kepentok tulang punggung pak Zaki😩😂

Rizan
Wkwkwk
Selamat ya

Sanari
Makasih

Balas-membalas pesan terhenti di sana, Sanari jadi mati topik buat cari bahan obrolan lain. Diberi ucapan selamat saja Sanari sudah merasa sangat bahagia.

16 Oktober 2021
Halo, ini Sanari ...

Dia menjadi manusia pertama yang aku hubungi atas kebahagiaan besar di hari ini. Untuk pencapaian-pencapaian selanjutnya semoga bisa dirayakan bersama.

2.160 hari |Jeongwoo - MinjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang