"kalau suka, ya bilang lah!"
"Gak bisa, orang udah jadian sama cowok lain." Rizan tertawa getir.
"Lah serius?"
Rizan menganggukkan kepala, "heem."
"Berarti cari yang lain aja!" Dini menyarankan. Dari sampingnya Rizan memberi tatapan penuh hangat, tapi gadis berambut pendek itu sama sekali tidak sadar. Tidak pernah peka. Cewek yang Rizan maksud adalah dirinyalah.
"Ibaratnya gini, ya, Lo udah menemukan sesuatu yang hilang dalam diri, Lo, tapi gak akan pernah bisa dimiliki, cuman bisa Lo pandang."
Kita petik satu perumpamaan manusia dengan bulan. Dibatasi atmosfer. Sebagai manusia yang hanya bisa mengagumi segala keindahan bulan, Rizan cukup merasa tahu diri bahwa bulan mungkin saja tidak tahu kehadirannya di alam semesta.
"Jangan merasa kalah karena hal semacam itu, hidup cuman sekali. Kalau yang A udah punya pacar, ya cari lagi, lah!"
"Jadi, kalau si Zul selingkuh, Lo tinggal cari yang baru, gitu?" Celetukan Rizan mendapat pukulan keras tangan Dini.
"Doa nya kok gak bener, sih."
Rizan tertawa, terpingkal-pingkal.
"Kalau si Zul selingkuh ya gue sakitin balik lah, baru bisa hidup tenang."
Dinamis, begitulah manusia. Beradaptasi dengan peradaban. Manusia akan berubah tetapi tidak dengan masa lalu yang dimilikinya. Lambatnya perputaran waktu tetap tak bisa menggeser gelar istimewa yang Rizan sematkan pada wanita yang kini sudah mempunyai anak itu. Dini tetaplah pemenang.
Dini menyesap secangkir kopi hitam miliknya. Lesung pipit di kedua sisi bibirnya ternyata tetap menjadi pemandangan yang paling Rizan sukai. Lesung pipit itu tidak ikut berubah ditelan jaman.
Ada luka yang menganga tiap kali pertemuan dengan Dini, tapi langkah kaki selalu membawanya ke tempat di mana gadis itu berada.
"Sejak kapan, Lo suka kopi?" Rizan memerhatikan bagaimana cara Dini menyeruput kopinya, terlihat hati-hati, diperlakukan nya dengan lembut seolah tengah meminum secangkir lelehan emas. Padahal dulu minuman berkafein itu lantas disemburkan dari mulut Dini sesaat setelah sampai di ujung lidahnya.
Gadis dengan balutan kemeja garis-garis itu meletakkan cangkirnya. "Makasih lho udah ajak gue ke sini. Suatu kehormatan." Dini membungkuk layaknya seorang putri kerajaan. Ini pengalaman pertama minum kopi di kafe, lambungnya pasti tersenyum bahagia. Biasanya kan hanya seduhan kopi instan.
"Gue tahu di sini harga kopinya mahal," bisik Dini, terkikik. "Gak sesuai banget sama pendapatan warga Cikemang."
"Tetep banyak, kok orang yang keluar masuk tempat ini."
"Itu karena tempatnya masih baru, satu bulan, gue jamin tempatnya bakal sepi pembeli."
"Berani taruhan? Menurut gue, kafe ini bakal tetep berjalan, perkembangan wisata Cikemang semakin melejit, sih."
"Lo menang, gue ajak ke air panas di perbatasan, deh."
"Deal, ya."
Belum apa-apa kepercayaan Dini sudah melayang paling tinggi.
"Rafa gak Lo ajak, Din?"
"Sekali-kali boleh lah gue jadi gadis lagi." Dini tertawa.
"Lo sama Rafa kelihatan kayak adik-kakak, kok."
Dini meraba wajahnya, tidak percaya diri, "kulit gue udah lama gak perawatan tahu! Ngejek banget mentang-mentang masih bujangan!"
"Di mata para cowok Lo tetep cantik,"
KAMU SEDANG MEMBACA
2.160 hari |Jeongwoo - Minji
Teen FictionSeorang penulis yang meninggal dunia sebelum mempublikasikan karyanya. "Tentang kamu yang raganya telah pergi. Yang begitu bersemangat menginginkanku abadi."